Oleh : Ade Rosanah
Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sudah ditetapkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan. UMP tahun 2022 mengalami kenaikan sebesar Rp37.749, berarti naik menjadi Rp 4.453.935. Tetapi ketetapan UMP tersebut mendapat respon negatif dari kaum buruh, karena dinilai begitu minim. Melalui konferensi pers virtual, Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan kenaikan UMP DKI Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan sewa toilet umum sekali masuk dengan tarifnya Rp2.000. Jika dihitung upah minimun per hari hanya naik Rp1.300. Gaji buruh dihargai lebih rendah dibandingkan dengan tarif sewa toilet oleh Gubernur DKI, (Detik, 27/11/2021).
Said Iqbal bersama pihaknya menuntut Anies agar UMP DKI naik menjadi 5%. Karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi agar UU cipta kerja direvisi. Jadi, pengupahan harus kembali ke peraturan lama. Yaitu, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengupahan. Kaum buruh pun akan menyerbu Gedung Balai Kota DKI Jakarta untuk melakukan demo berjilid. Kaum buruh menuntut agar dalam waktu 3×24 jam Gubernur DKI mencabut SK tentang UMP DKI 2022 dan menaikkannya sebesar 5%, (Detik, 27/11/2021).
Wajar saja Anies Baswedan mendapat respon negatif dari para buruh mengenai kebijakan yang dikeluarkan tentang kenaikan UMP DKI 2022. Karena selama ini kaum buruh tidak merasakan kesejahteraan dengan upah yang mereka dapatkan setiap bulannya. Apalagi di tahun 2022 UMP DKI hanya naik tipis yaitu 1,09%. Sedangkan setiap awal tahun beberapa kebutuhan pokok meroket naik. Jadi, upah yang diterima para buruh tidak sebanding dengan biaya kebutuhan pokok yang harus dikeluarkan para buruh.
Bagaimana bisa para buruh sejahtera dengan gaji yang sangat minim? Nyatanya problem kesejahteraan kaum buruh saat ini diakibatkan penerapan sistem ekonomi Kapitalisme di negeri ini. Upah pekerja dalam sistem Kapitalisme hanya dihitung berdasarkan biaya hidup terendah (Living cost). Upah buruh hanya sekedar mencukupi biaya makan saja, sedangkan biaya lainnya tidak bisa terpenuhi oleh gaji yang minim.
Sistem ekonomi kapitalis, menganggap buruh sebagai tulang punggung produksi dan warga kelas dua. Sedangkan para pengusaha sebagai tuan yang mempunyai modal dan berjasa menyediakan lapangan pekerjaan. Maka dalam praktiknya perbedaan kelas yang ada akan mengakibatkan pihak yang dianggap rendah mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Seperti upah buruh yang tidak sesuai dengan jam kerja dan keahlian para buruh. Perusahaan melakukan PHK demi mengurangi biaya produksi agar pengusaha dapat mencapai keuntungan maksimal.
Namun, ketidakadilan para buruh tidak berhenti sampai di sana saja. Dalam kenyataannya, regulasi tentang ketenagakerjaan lebih berpihak kepada kaum pemodal seperti UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang menuai kontroversi hingga saat ini. Meskipun Mahkamah Konstitusi meminta agar UU Ciptaker direvisi karena cacat secara konstitusi. Tetapi tetap saja bukan merupakan bentuk pembelaan terhadap problem kesejahteraan kaum buruh. Karena yang dipermasalahkan MK bukan dari sisi substansinya.
Padahal, substansi UU Ciptaker sangat cenderung merugikan pihak pekerja. Sedangkan pihak pengusaha mendapat keuntungan serta kemudahan untuk secara leluasa menjalankan hasrat kapitalisnya. Kaum pemodal sangat diuntungkan di sistem ini karena mereka memiliki keterikatan kuat dengan penguasa. Antara penguasa dengan pengusaha terjalin kerjasama berdasarkan kepentingan dan manfaat. Maka, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan sesuai dengan pesanan pemilik modal.
Sejatinya kaum kapitalis memiliki tabiat serakah. Sehingga mereka tidak akan memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung perjuangan kaum buruh untuk mendapat keadilan sosial dan kesejahteraan. Jika kaum buruh menginginkan kesejahteraan maka mereka harus berjuang sendiri. Memutar otak agar semua kebutuhan pokok keluarga bisa terpenuhi. Sekalipun mereka terlibat dengan hutang riba seperti pinjaman online yang sedang marak saat ini.
Persoalan buruh kian bertambah ketika pemerintah lamban ketika mengatasi pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama dua tahun ini. Pandemi yang berkepanjangan memberi dampak negatif bagi perekonomian dunia. Perekonomian dunia merosot dan mengalami resesi. Sehingga semua pihak merasakan dampak tersebut. Tetapi, rakyat kecil dan kaum buruhlah yang paling merasakan dampak buruknya.
Para buruh dan rakyat kecil kesulitan bertahan hidup di tengah pandemi. Mereka berjuang bertahan di tengah kesempitan hidup. Alhasil semua terjadi akibat kebijakan pemerintah yang tumpang tindih. Saat pandemi berlangsung pemerintah hanya fokus menyelamatkan perekonomian para kaum kapitalis sehingga ekonomi rakyat mengalami keterpurukan berbanding terbalik pada kalangan pengusaha yang mampu meningkatkan kekayaannya. Jika kebijakan pemerintah seperti itu, kapan buruh dan rakyat kecil akan merasakan kesejahteraan dalam hidupnya?. Begitulah potret suramnya sistem Kapitalisme menangani kesejahteraan kaum buruh. Alih-alih kesejahteraan yang didapatkan, tetapi nyatanya kezalimanlah yang diberikan penguasa. Akhirnya kaum lemah seperti buruh yang menjadi tumbal kebobrokan sistem Kapitalisme.
Namun, kondisi kaum buruh tidak akan demikian jika Islam dijadikan aturan yang diterapkan sebuah negara. Islam mampu menyejahterakan rakyat kecil serta kaum buruh karena dalam Islam, tugas negara wajib menjamin kebutuhan dasar warga negaranya. Kaum buruh mendapatkan upah yang adil dan layak. Upah pekerja yang diberikan berdasarkan akad kesepakatan kerja antara pengusaha dan pekerja.
Upah, jenis pekerjaan, waktu kerja serta manfaat yang diberikan pekerja merupakan bagian dari kesepakatannya. Kesepakatan kerja yang terjadi merupakan bukti bahwa kedua belah pihak yaitu perusahaan dan pekerja sama-sama rido. Jadi, kedua belah pihak akan merasakan manfaatnya bersama. Tidak ada pihak yang tidak mendapatkan keadilan di dalamnya karena keduanya sama-sama menjalankan hak dan kewajibannya. Maka peran negara serta upah yang diberikan pengusaha akan mampu menjamin kesejahteraan para buruh.
Negara dalam sistem kepemerintahan Islam yaitu Khilafah menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Karena kedua pihak memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum syariat. Tidak ada pembeda karena keduanya harus dikenakan hukum. Negara pun akan menyediakan lapangan pekerjaan dan modal usaha yang berasal dari Baitul Maal bagi para pencari nafkah yang mampu secara fisik. Tak hanya itu saja, negara juga memberikan pembinaan skill di bidang tertentu.
Persoalan buruh akan terus terjadi selama sistem Kapitalisme masih mencengkeram negeri ini. Maka saat ini sepantasnya kaum buruh serta semua lapisan masyarakat tidak lagi berharap dan segera meninggalkan sistem yang tidak bisa mewujudkan kesejahteraan. Karena sistem Ekonomi kapitalis terbukti hanya membuat kesenjangan dan kian melebarnya jurang ekonomi. Sebuah fatamorgana kesejahteraan buruh dapat terealisasi dalam sistem Kapitalisme. Karena kesejahteraan umat termasuk kaum buruh akan teralisasi hanya dengan sistem Ekonomi Islam dalam daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu'alam...
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar