APA PERLUNYA PEMETAAN MASJID DAN PONDOK PESANTREN?


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Seakan tidak pernah mati, isu radikalisme dan terorisme kembali digaungkan dengan menyasar pemetaan masjid dan pondok pesantren yang notabene ajaran Islam, padahal tidak ada satupun dari nas dalam Al-Qur'an dan Hadis yang membenarkan perbuatan tersebut. Dan seakan begitu darurat negeri ini akan bahaya terorisme, sehingga harus ada dua divisi khusus untuk menangani terorisme yaitu Densus 88 dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Polri, Brigjen Pol Umar Effendi membeberkan pihaknya akan melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme.(cnnindonesia.com, 27/01/2022)

Demikian juga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan masih menemukan adanya pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Jumlahnya mencapai ratusan pondok pesantren di berbagai wilayah.(tempo.co, 25/01/2022)

Namun,  Polri mengaku hanya pelapis alias second line, bukan garda terdepan dalam rencana pemetaan masjid guna mencegah penyebaran paham radikalisme di Indonesia. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan tugas utama tersebut nantinya bakal diemban oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (cnnindonesia.com, 03/02/2022)

Terlepas dari siapapun dan apapun tugas mereka, pada dasarnya wacana tersebut terkesan meyudutkan umat Islam, karena menyasar tempat ibadah dan pondok pesantren umat Islam. Banyak tempat ibadah dan ruang lain, namun hanya masjid dan pondok pesantren  sebagai obyek pemetaan, seolah-olah sarang dari lahirnya paham terorisme. Dan secara tidak langsung menegaskan masjid dan pondok pesantren   sebagai sarang terorisme, yang mana klaim tersebut bisa memicu konflik dan menimbulkan gesekan, perpecahan dan kegaduhan di tengah masyarakat.

Bukankah ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terpuruk akibat pandemi yang berkepanjangan. 

Dan bukankah lebih baik Direktur Keamanan Negara Mabes Polri memfokuskan tugasnya untuk mengamankan warga Papua dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) daripada memetakan rumah ibadah dan pondok pesantren.

Bukankah Menag harusnya bekerja mengurusi urusan “keberagamaan” warga negara, sehingga kualitas iman dan takwa para pemimpin meningkat dan ASN berkorelasi dengan upaya pemberantasan korupsi dan perbaikan ekonomi. Meningkatkan  ketaatan aparat penegak hukum dan rakyat bisa membebaskan Indonesia dari narkoba dan kriminalitas. Serta menyemarakkan masjid-masjid dan mendukung semua upaya dakwah, bukan justru menekan dan membatasi gerakan  dakwah.

Islam tidak pernah  mengajarkan tindak kekerasan, kejahatan maupun teror.  Islam mengajarkan toleransi antarumat beragama dalam arti tidak mengganggu penganut agama lain untuk beribadah sesuai keyakinan mereka. Sejatinya terorisme otomatis tertolak oleh Islam. Teror dalam arti mengganggu kenyamanan, keamanan dan keselamatan orang lain jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengajarkan kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada hewan dan tumbuhan.

Mendakwahkan Islam juga harus dengan cara yang baik, tanpa paksaan, sebagaimana di dalam Firman Allah SWT yang artinya, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.” (TQS Al Baqarah: 256).

Pada masa Rasulullah SAW mendirikan Daulah Islam di Madinah, di sana masyarakatnya plural. Ada warga yang beragama Islam, Nasrani dan Yahudi. Ini adalah contoh terbaik bagaimana penerapan syariat Islam secara kafah yang mengayomi semua agama dan mengutamakan kesejahteraan warga.

Perlu kita sadari untuk kembali pada penerapan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan Khilafah Islamiyahlah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran dan tuduhan keji yang selalu disematkan pada umat Islam. 

Wallahu a'lam bi ash-shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar