Oleh: Eli Yanti (Lisma Bali)
Subsidi penurunan harga minyak goreng yang diberikan pemerintah kepada masyarakat disambut sangat baik. Diketahui sebelumnya, harga minyak goreng melambung tinggi hingga mencapai 20 ribu per liternya. Dengan adanya subsidi, harga minyak goreng kini turun menjadi 14 ribu saja.
Adanya subsidi ini, membuat masyarakat rela mengantri bahkan berjubel demi mencari toko yang menjual minyak goreng bersubsidi. Senyum bahagia para pedagang kaki lima terutama pedagang gorengan turut menyertai. Tentu karena merekalah yang sangat terdampak ketika harga minyak melambung tinggi.
Akan tetapi lagi-lagi masyarakat dilanda kekecewaan. Minyak goreng yang menjadi subsidi dari pemerintah ternyata sudah menjadi barang langka di beberapa minimarket. Hanya dalam sepekan, minyak subsidi sudah habis di pasaran. Meski ada pembatasan dalam pembelian minyak bersubsidi, tetap saja distribusinya belum dirasakan semua masyarakat.
Tidak meratanya distribusi barang subsidi menjadikan masyarakat lelah dengan adanya janji-janji pemerintah. Mereka enggan untuk banyak berkomentar atau sekadar mengapresiasi. Tak jarang subsidi yang tersalurkan justru tidak tepat sasaran.
Mungkin awalnya memang terlihat kalau pemerintah peduli terhadap penderitaan rakyat dengan kebutuhan yang semakin melonjak harganya. Pemberian subsidi seolah menggambarkan kalau masih ada rasa empati. Bermodalkan subsidi inilah pemerintah mencari simpati masyarakat untuk mengembalikan kepercayaannya terhadap pemerintah.
Akan tetapi, jika hanya ingin mencari simpati masyarakat, pastilah subsidi ini tidak akan bertahan lama. Lambat laun akan dicabut juga. Tabiat inilah yang sudah dihapal oleh masyarakat. Sebagaimana subsidi-subsidi yang pernah diberikan, seperti halnya gas LPG 3 Kg, listrik, BBM, BPJS kesehatan dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pencabutan subsidi-subsidi tersebut karena dinilai tidak efisien atau tidak tepat sasaran. Tetapi jika saja mau mendalami sedikit saja permasalahan dari distribusi subsidi di Negara ini, ternyata menujukkan bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Bayangkan saja, untuk memberikan subsidi ke seluruh masyarakat tentu membutuhkan pengeluaran yang sangat besar. Dilihat dari jumlah penduduk dan luasnya wilayah, tidak mungkin bisa mensuplay seluruhnya dalam waktu singkat. Pasti ada mekanisme yang terputus yang terjadi di saat pendistribusian ini.
Carut marutnya mekanisme ini tidak lain akibat dari keberadaan negeri di bawah paham para kapitalis. Menganggap subsidi atau bantuan dari pemerintah sebagai pemborosan karena dalam pandangannya pelayanan masyarakat harus mengikuti mekanisme pasar yaitu negara harus menggunakan prinsip untung rugi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam dalam mengatur mekanisme bantuan kepada rakyat. Apabila ternyata kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar dan mendesak, maka Islam mewajibkan kepada Negara dalam memenuhinya. Dan ini bukanlah sebuah bantuan, tetapi memang menjadi tanggung jawab Negara.
Seperti halnya yang dilakukan Khalifah Umar bin Al-Khathab kepada para petani Irak. Beliau telah mencontohkan dengan memberikan harta dari Baitul Mal kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengelola lahan pertanian mereka.
Jika suatu masa terjadi ketimpangan ekonomi di dalam Negara, maka Khalifah harus segera mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum syara', yaitu mewujudkan keseimbangan ekonomi. Islam juga telah mengatur tentang peredaran harta di setiap individu dan mencegah harta tertuju pada golongan tertentu.
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS AL-Hasyr: 7)
Wallahu'alam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar