HET MINYAK GORENG, CIRI INTERVENSI NEGARA KAPITALIS DALAM MEMATOK HARGA


Oleh : Inasfa Wardah

Beberapa bulan lalu, harga minyak goreng mengalami kenaikan harga. Kemudian, Kementerian Perdagangan menetapkan harga minyak goreng menjadi satu harga yaitu Rp 14.000/liter di toko ritel modern. Namun belum lama kebijakannya itu pun berubah. Mulai per 1 Februari 2022, Kementerian Perdagangan menetapkan batas harga bahan baku minyak goreng. Alasannya ialah agar harga minyak goreng terjangkau oleh produsen. Kebijakannya pun akhirnya dievaluasi. Karena ternyata, Menteri perdagangan Muhammad Lutfi mengeluarkan lagi kebijakan. Yakni kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20%, guna mengeksportir bahan baku minyak goreng dalam negeri, (Liputan6.com 27/1/2022).

Untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran, pemerintah mengeluarkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di pekan lalu. Subsidi ini tertuang dalam kebijakan Permendag nomor 01/2022 dan 03/2022. Artinya, produsen minyak goreng akan mendapatkan subsidi atas pengganti selisih harga keekonomian. Namun, pernyataan datang dari Direktoral Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oki Nurman. Ia menyatakan, bahwa harga CPO (Crude palm oil) dan bahan bakunya sudah diturunkan melalui DPO per 1 Februari 2022. Bahwasanya, BPDPKS tidak perlu lagi menyiapkan anggaran untuk pembayaran selisih harga keekonomian. Sebab pemerintah sendiri akan memberlakukan harga HET (Harga eceran tertinggi), (27/1).

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan, bahwa penerapan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) akan berguna bagi eksportir bahan baku minyak goreng. Juga akan berlaku terhadap seluruh produsen minyak goreng di dalam negeri untuk melakukan ekspor. Mendag Lutfi juga menambahkan, bahwanya Kementerian Perdagangan akan menetapkan harga maksimal dari bahan baku karena adanya kebijakan DPO. Yakni, Rp 9.300/kg untuk CPO dan Rp 10.300/kg untuk Olein. Langkah yang diambil sebagai pengembalian harga mekanisme pasar. Adapun HET untuk minyak goreng diantaranya: minyak goreng curah Rp 11.500/liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500/liter dan minyak goreng kemasan sederhana Rp 14.000/liter, (Liputan6.com, 27/1/2022).


Apakah kebijakan tersebut adalah langkah yang tepat bagi pemerintah dalam mengatasi harga minyak goreng di  dalam negeri? Karena faktanya, Pemerintah hanya sekedar mengeluarkan kebijakan tanpa memperhatikan dampak buruk bagi para petani kelapa sawit dalam sistem DPO tersebut. Menerapkan kebijakan DPO, Berarti akan ada paksaan dan tekanan harga yang dilakukan pemerintah agar kebijakan ini terus berjalan. Sedangkan bagi para petani sawit, mereka hanya dapat menjual tandan sawitnya dengan harga yang diberlakukan pemerintah saat ini yakni, Rp 9.300/kg untuk CPO dan Rp 10.300/kg untuk olein.

Alhasil, ketika harga minyak sawit dunia sedang mengalami kenaikan, Namun harga minyak sawit di dalam negeri akan tetap bertahan pada harganya itu. Harganya tetap stabil dari goncangan harga minyak sawit dunia yang tengah naik. Ini artinya, para petani kelapa sawit akan mengalami kerugian. Sedangkan mahalnya harga pupuk juga akan sangat mempengaruhi harga kelapa sawit. Walhasil, kebijakan DPO tersebut membuat para petani kelapa sawit bungkam. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengikuti harga pasar dunia. 

Sedangkan pemilik perusahaan perkebunaan kelapa sawit, yang notabene sebagai produsen minyak kelapa sawit tidak begitu merasakan dampaknya. Karena ternyata, mayoritas dari mereka ialah para insvestor swasta asing yang memiliki modal besar. Tidak hanya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mereka kuasai. Berbagai bidang perusahaan pun mereka miliki. Seperti perusahaan pabrik kertas, tambang dan lain-lain. Namun dalam hal ini, para petani kelapa sawitlah yang paling menderita akibat kerugian yang harus mereka tanggung.

Bahkan, para produsen minyak goreng juga mendapatkan gelontoran subsidi dari pemerintah sebelum pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO. Itu artinya pihak produsen minyak goreng diuntungkan dari kebijakan tersebut. Hal ini telah membuktikan bahwa pemerintah telah berpihak pada para pengusaha minyak goreng. Dalam mengatasi persediaan minyak goreng, ternyata tidak lepas dari solusi pragmatis dalam sistem Kapitalisme yang menguasai negeri ini. Kebijakannya itu mudah berubah-ubah sesuai kondisi kepentingan para oligarki. Sejatinya para gurita korporasi mendapat dukungan penuh dari negara guna melancarkan usaha-usaha mereka dalam mendapatkan profit yang sebesar-besarnya. Hutan pun bisa disulap menjadi perkebunan-perkebunan yang terindikasi menghasilkan cuan. Lahan-lahan pun bebas disewa bahkan dimiliki oleh para swasta.

Begitu pula intervensi pemerintah dalam menentukan harga komoditas di pasaran pun menjadi hal yang biasa dilakukan dalam sistem Kapitalisme. Hal ini dianggap sebagai penyelamat keseimbangan harga. Padahal, interversi pemerintah pada penentuan harga barang seperti kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga minyak goreng dengan satu harga, yang menentukan HET untuk CPO dan HET minyak goreng merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Dalam Islam, harga ditentukan oleh biaya produksi, penawaran (supply) dan permintaan (demand) barang. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedangkan permintaan sedikit, maka harga barang akan turun. Sebaliknya, ketika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga barang akan naik.

Mekanisme harga barang terjadi secara alami dalam sistem ekonomi Islam. Maka jelas tidak ada campur tangan negara dalam mengatur harga. Negara hanya memiliki wewenang sebagai pihak yang mengawasi mekanisme pasar agar tidak terjadi distorsi pasar. Kecuali, negara boleh mengendalikan dan menjaga kestabilan harga dengan cara yang diperbolehkan syariat. Yaitu, menjaga penawaran dan permintaan barang agar stabil. Negara akan menyuplay barang dari wilayah lain ketika supply barang berkurang walaupun demandnya besar. Karena hal itu akan menjadi faktor naiknya harga.

Negara akan memberikan sanksi ta'zir jika supply barang yang berkurang karena penimbunan. Negara akan melepaskan barang timbunan tersebut ke pasar. Serta negara akan memberlakukan hak khiyar, antara meneruskan atau membatalkan akadnya ketika terjadi penipuan. Negara pun tidak akan menyewakan lahan perkebunan ataupun menyerahkan pengelolaan perkebunan kepada pihak swasta. Karena lahan perkebunan kelapa sawit adalah tanggung jawab negara untuk mengelolanya dan berfungsi dalam rangka menyediakan komoditas barang yang dibutuhkan masyarakat. 

Itu supaya masyarakat bisa secara mudah mendapatkan dan menjangkau dari segi harganya. Begitulah cara Islam dalam mengatasi dan menjaga keseimbangan mekanisme harga serta ketersediaan barang. Negara bukan hanya sebagai pembuat kebijakan saja. Tetapi, sebagai pihak yang sangat bertanggung jawab atas keberlangsungan mekanisme pasar yang sehat.

Wallahu'alam...




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar