JHT Tertunda, Mengeksploitasi Kaum Pekerja?


Oleh: Hanifah Afriani

Aturan baru menteri ketenagakerjaan terkait pembayaran JHT (Jaminan Hari Tua) baru bisa dicairkan setelah pegawai yang terdaftar BPJAMSOSTEK telah mencapai usia 56 tahun. Hal ini menuai protes terus menerus, bahkan di situs change.org petisi ini sudah ditandangani lebih dari 360 ribu orang atas penolakan aturan baru terkait pembayaran JHT.

Sebanyak 361.579 warganet atau netizen telah meneken petisi online yang menolak Program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan hanya bisa cair saat pekerja berumur 56 tahun. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan aturan baru terkait pembayaran manfaat jaminan hari tua atau JHT dalam Permenaker No 2 Tahun 2022. Permenaker tersebut menyebutkan dalam pasal 3 bahwa manfaat JHT baru dapat diberikan saat peserta masuk masa pesiun di usia 56 tahun. Hal tersebut sontak memantik reaksi publik, terutama dikalangan para pekerja dan buruh. (Bisnis.com, 14/02/2022) 

Selain penolakan lewat petisi, penolakan ini juga sempat trending beberapa hari terakhir di Twitter dengan tagar #TolakPermenaker2_2022. Padahal pada peraturan sebelumnya PP No 60 Tahun 2015 jo PP No 19 Tahun 2015 memperbolehkan buruh yang terkena PHK dan mengundurkan diri untuk mengambil JHT tanpa harus menunggu usia 56 Tahun.

Tentu kebijakan tersebut sangat merugikan tenaga kerja apabila mereka di PHK atau mengundurkan diri sebelum usia 56 tahun untuk mendapatkan jaminan tersebut. Padahal dana JHT adalah bagian dari harta pekerja yang diharapkan menjadi penopang saat ada kondisi yang tidak diharapkan seperti berhenti bekerja karena faktor-faktor di luar ketentuan. 

Hal ini sangat merugikan para pekerja, sebuah sistem yang menunjukan secara nyata buruknya pengurusan negara yang memakai sistem kapitalisme. Mereka begitu mudah menunda hak-hak warga negaranya untuk menyelematkan kepentingan segelintir pihak lainnya.

Di saat yang sama, pekerja dan rakyat secara umum tidak mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara. Padahal negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
 
Inilah bukti keburukan sistem kapitalisme yang mengeksploitasi kaum pekerja untuk  menikmati keuntungan  keringat mereka saat muda dan abai menjamin kebutuhan mereka saat membutuhkan.

Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan aturan Islam. Dimana negara Islam di bawah naungan khilafah akan mengutamakan hak-hak rakyatnya serta menjamin kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana hadits nabi SAW:

“Dari  Abu Hurairah ra.  bahwa  Rasulullah SAW bersabda: “Menunda membayar hutang (termasuk upah pekerja) bagi orang yang mampu adalah  kezaliman dan apabila seorang dari  kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaknya dialihkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan terdapat juga dalam hadits yang lain:
Dari  Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan at-Thabrani).

Dari hadits tersebut sudah jelas bahwa perintah untuk segera memberikan gaji/upah  kepada pekerja setelah usai melaksanakan tugas dan pekerjaannya secara layak dan tepat waktu. Karena menunda, mengurangi, terlebih lagi tidak membayar upah pekerja termasuk sebuah kezaliman  dan  dimusuhi  Allah dan Rasul-Nya. 

Dengan demikian, sistem Islam akan menjamin pemenuhan hak-hak setiap pekerja, mereka tidak akan dirugikan apalagi sampai ditunda lama agar bisa mendapatkan upah dan pembayaran atas hak-haknya.

Sebenarnya, dalam negara Islam tidak perlu adanya jaminan hari tua atau jaminan kehilangan pekerjaan, karena khilafah akan memastikan rakyatnya terpenuhi kebutuhan dasarnya. Mereka akan dijamin oleh negara. Pun dalam Islam terdapat perbedaan antara pembahasan upah dan kebutuhan dasar rakyatnya.

Untuk kebutuhan dasar rakyat misalnya menyangkut sandang, pangan dan papan. Maka khilafah akan memastikan bahwa rakyatnya bisa mendapatkan itu semua, termasuk pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Adapun untuk upah maka itu termasuk akad pegawai dan majikannya. Besarnya upah dalam Islam ditentukan oleh jasa tenaga yang diberikan oleh pekerja pada majikan. Bukan berdasarkan perhitungan biaya produksi.

Tunjangan dalam Islam memang ada, tapi bukan sebagai jaminan. Seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab. Khalifah membagikan tunjangan berupa uang tunai. Kebijakan ini dimulai pada tahun ke-6 atau ke-7 pemerintahan Khalifah Umar.

Jumlah tunjangan yang diberikan bila dirata-ratakan setiap kepala bisa mendapat tunjangan 50 dinar per tahun. Khalifah memastikan rakyatnya memiliki mentalitas kuat sebagai seorang muslim. Walaupun mereka mendapat tujangan. Rakyat tidak bermalas-malasan. Mereka tetap rajin bekerja dan berdagang di pasar.

Rakyat sejahtera hanya akan terwujud dengan penerpan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahualam bi shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar