Menyoal Urgensitas Pemindahan Ibu Kota Negara Baru


Oleh : Ukhty Sejati

Selasa, 18 Januari 2022 pada sidang Paripurna DPR resmi menyetujui Rancangan Undang – Undang Ibu Kota Negara atau RUU IKN yang selanjutnya akan disahkan oleh Presiden menjadi Undang – Undang IKN.

Hal ini memang tidak mengejutkan disebabkan sejak beberapa tahun lalu Presiden Jokowi telah berencana melakukan pemindahan Ibukota Negara Indonesia dan telah ditetapkan di wilayah Kalimantan Timur tepatnya di penajam Paser Utara. Pemindahan tahap awal akan dilaksanakan sebelum tahun 2024. Pemerintah beralasan bahwa beban Jakarta saat ini terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat pedagangan, dan pusat jasa. Kedua, beban Pulau Jawa semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54% dari total penduduk Indonesia. Kemudian, 58% PDB ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa.

Jika menilik dari alasan pemerintah, hal tersebut seakan kontras dengan pandangan bahwa jika ibukota negara pindah sebagai pusat pemerintahan maka hanya akan mengurangi beban Jakarta sebesar 7%. Sehingga beberapa pakar menilai tidak adanya urgensi atau kedaruratan memindahkan Ibukota negara. Apalagi saat ini Indonesia memasuki gelombang ketiga Pandemi covid 19 yang tentunya memerlukan penanganan baik secara ekonomi maupun kesehatan. Pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan kecenderungan melambat. Otomatis akan berdampak pada merosotnya Pendapatan nasional per kapita. 

Sementara itu, untuk mendukung tercapainya pelaksanaan dan pembangunan maka Pemerintah yang diwakili oleh Kemenkeu menyiapkan anggaran Program Pemulihan Ekonomi Negara (PEN) sebesar 451 triliun yang mana dana itu sejatinya untuk penanganan pandemi covid, pemberian bantuan sosial (bansos) dan pemulihan ekonomi rakyat.
Sementara itu menurut Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad memproyeksikan, secara umum pertumbuhan ekonomi daerah tujuan pemindahan IKN akan meningkat 0,02%. Namun jika dilihat secara nasional secara jangka panjang tidak terlalu berpengaruh karena IKN dianggap hanya sebagai pusat pemerintahan yang basisnya konsumsi masyarakat yang tinggal di IKN dan bukan dari kontribusi sektor produktif.

“Ini yang menyebabkan dalam jangka panjang secara ekonomi tidak punya pengaruh, bahkan tidak ada gunanya kalau kita lihat dari simulasi yang kami lakukan, meskipun mungkin ada tambahan investasi riil sebesar 0,21% tapi dari sisi ekspor menurun, bahkan impor jauh lebih tinggi,” ujar Tauhid.(Kontan.co.id, 30/01/2022).

Di sisi lain, sejumlah tokoh juga akan melayangkan gugatan Undang-Undang Ibu Kota Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa tokoh diantaranya adalah Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ekonom Senior Faisal Basri, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, dan eks jurnalis Jilal Mardhani. Jika MK mengabulkan gugatan para tokoh tersebut dikabulkan, maka sejarahnya bakal sama dengan Korea Selatan. Adapun bila ibu kota negara pindah ke Kalimantan, maka Pemerintah berencana memanfaatkan atau memindahtangankan/menjual asset milik negara yang berada di Jakarta. Dari sekitar Rp. 1.400 trilyun diperkiran aset yang hanya bisa dimanfaatkan sekitar 300 trilyun jika IKN benar–benar pindah ke Kalimantan Timur. Maka banyak anggapan bahwa perpindahan IKN seakan dipaksakan dan berpotensi merusak lingkungan hidup. Maka Pertanyaannya siapa yang diuntungkan?rakyat ataukah kaum oligarki? Belum lagi dengan akan adanya beberapa kepentingan atas proyek IKN baru di Kalimantan.  Jika melihat dari skala prioritas, lebih urgen mana pemulihan ekonomi rakyat ataukah Pemindahan Ibu Kota Baru?

Islam telah mengatur prioritas pengeluaran yaitu dengan mendahulukan pos-pos yang sifatnya primer, kemudian sekunder, dan terakhir adalah tersier. Berikut ini mana saja prioritas pengeluaran yang sudah diatur dalam agama Islam :
Pertama adalah Hutang. Dimana merupakan janji/aqod yang harus segera ditunaikan. Pasalnya, dalam hutang ada hak orang lain yang harus kita utamakan untuk segera diberikan. Segera selesaikan hutang-hutang hingga lunas sebelum meninggal. Jangan sampai perkara hutang mempersulit kita saat di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Jiwa seorang muslim tergantung selama ada hutangnya” (HR. Ahmad).
Kedua adalah Kebutuhan Sehari-hari. Dimana dalam ekonomi islam terdapat konsep “Tujuan Syariah” salah satunya adalah Penjagaan Jiwa yang salah satunya dengan menyediakan kebutuhan primer seperti makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Dalam membeli kebutuhan sehari-hari hendaklah melakukan pengeluaran secukupnya dan sesuai porsi yang dibutuhkan, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti dalam Qur’an surat Al-Furqon : 67 yang artinya, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Ketiga adalah Investasi. Sahabat Nabi, Umar bin Khattab, pernah meminta para pekerja untuk tidak menghabiskan uang mereka untuk konsumsi melainkan sebagian digunakan untuk membeli ladang untuk kemudian dapat digunakan bercocok tanam dan kambing untuk diternakkan dan dijual susu atau dagingnya. Artinya, kita disarankan untuk berinvestasi. Jangan hanya mengandalkan dari satu sumber pemasukan saja.

Jika Investasi akan datang yang dimaksud oleh Pemerintah adalah Pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan sedangkan Kebutuhan sehari-hari diibaratkan adalah pemulihan ekonomi rakyat atapun penyaluran bansos. Maka dari sini sudah jelas skala prioritas mana yang lebih utama. Jangan sampai demi kepentingan pribadi ataupun golongan malah melalaikan kepentingan rakyat yang mana di dalam Islam seorang Pemimpin akan bertanggungjawab dan dihisab di hari akhir atas rakyat yang dipimpinnya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar