Oleh : Eulis Nurhayati
Selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia. Untuk diketahui, panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang.
Di Indonesia, beberapa barang menjadi sasaran panic buying karena dianggap sulit ditemukan hingga langka. Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan adanya indikasi penimbunan barang.
Selain itu, baru-baru ini harga minyak goreng yang melambung hingga Rp 28.000 per liter mulai dicari oleh warga. Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia sebesar Rp 14.000 per liter. Warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng harga murah. Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya. Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Sebagian masyarakat tidak kebagian. (Kompas.com, 22/01/22).
Potensi munculnya Panic Buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk kepentingan pribadi.
Dilansir dari iNews.id, banyak masyarakat yang membeli minyak goreng dalam jumlah banyak karena sejumlah faktor atau panic buying. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, terjadinya perilaku panic buying oleh konsumen dalam membeli minyak goreng satu harga disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya dari sisi konsumen, perilaku panic buying juga merupakan fenomena yang anomali dan cenderung sikap yang egoistik, hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Fenomena panic buying ini menunjukkan tingginya rasa individualisme di kalangan masyarakat. Setiap orang hanya memikirkan kelangsungan hidupnya masing-masing. Tak peduli sesama manusia, asal dirinya bisa bertahan dan selamat. Alam sekularisme yang memisahkan antara peranan agama dari kehidupan ini, telah menggerus rasa kemanusiaan, tak ada empati apalagi rasa simpati terhadap sesama. Tak adanya penanaman dan pembinaan terhadap akidah dan keimanan masyarakat oleh negara, menjadikan masyarakat yang bersifat wahn (cinta dunia) dan takut mati. Apapun dilakukan demi kelangsungan hidup masing-masing. Meskipun harus mengorbankan saudara sendiri.
Di sisi lain adanya fenomena panic buying, memperlihatkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan diri. Gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri), merupakan salah satu naluri yang fitrah diberikan kepada setiap manusia oleh Sang Pencipta. Namun, di dalam Islam ada aturan untuk pemenuhan setiap naluri yang ada pada diri manusia ini. Islam mengarahkan agar dalam memenuhi gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri) berada dalam jalan yang benar, tidak menzalimi diri dan orang lain dengan cara yang bersih dan menenangkan. Dalam hal ini, Islam mengarahkan agar dalam memperoleh harta harus dengan cara yang baik (thayyib) dan benar (halal), maka, jika diterapkan syariat Islam, tidak akan terjadi fenomena panic buying di tengah-tengah masyarakat, karena Islam beserta aturannya yang sempurna bersifat sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa dan memuaskan akal.
Di dalam Islam, peran negara tentu amat penting untuk mencegah. Syariat Islam pun memiliki solusi tersendiri karena Islam adalah agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segala persoalan.
Pemberian subsidi kala bahan pokok naik atau langka merupakan solusi pragmatis. Kebijakan itu hanya dapat menyelesaikan masalah sesaat seperti dokter yang mengobati pasien yang memiliki penyakit kanker, hanya diberi obat pereda nyeri yang akan menghilangkan rasa sakit sesaat. Akan tetapi, akibat pusat sakitnya belum terobati, suatu ketika penyakit itu akan timbul lagi.
Oleh karena itu, seyogianya para pengambil kebijakan mencari akar permasalahan mahalnya minyak. Apakah ada masalah pada produksi atau distribusi? Lebih penting lagi adalah mengevaluasi kebijakan yang sudah ada. Jangan-jangan mahalnya minyak goreng karena salah pengambilan kebijakan, seperti kebijakan penggunaan CPO untuk bahan bakar pengganti bahan bakar fosil.
Selain itu, negara juga perlu menjamin pemenuhan kebutuhan tiap individu masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak akan melakukan tindakan-tindakan “di luar batas” karena seluruh kebutuhannya sudah terpenuhi. Hanya Islam yang mampu memenuhi semua itu karena Islam akan mengambil kebijakan sesuai tuntunan syara. Negara bertugas sebagai pe-riayah (pengurus) rakyat, bukan pengusaha.
“Setiap hamba yang Allah (takdirkan) melayani masyarakatnya, (lalu) mati di suatu hari, dan ia zalim (selama memimpin) kepada rakyatnya maka Allah haramkan baginya surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Maka, hanya jika diterapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, akan menghindarkan manusia dari kedzaliman terhadap sesamanya. Termasuk akan menuntaskan semua masalah termasuk masalah melambungnya harga minyak goreng. Karena sebuah pemerintahan yang berlandaskan sistem Islam akan mengurus rakyatnya dengan baik berdasarkan ketakwaannya terhadap Allah SWT.
Wallahu’alam bish-shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar