Oleh : Ai Oke Wita Tarlina, S. Pt.
Masih hangat dalam ingatan kasus yang menimpa 13 santriwati korban rudapaksa oknum ustadz berinisial HW. Tuntutan hukuman mati kepada terdakwa hingga hari ini rupanya masih menuai polemik. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan mengatakan memang isu hukuman mati selalu menuai kontroversi. Menurutnya sebaiknya tuntutan hukuman mati harus ada tahapan-tahapannya, kemudian di sisi lain hukuman mati seolah tanggung jawab negara hilang. Padahal, menurutnya, ada tanggung jawab negara juga dalam kasus HW (sumber: liputan6.com)
Lantas bagaimana sebenarnya hukuman mati dalam Islam? Apabila kita melihat fakta pada saat ini,dimana kejahatan muncul bukan hanya niat si pelaku akan tetapi ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Ada lingkungan yang mendukung terjadinya kejahatan. Ada pengaruh eksternal yang mendorong pelaku kekerasan seksual untuk rudapaksa seperti pada kasus HW di atas.
Jika akar masalah tak segera dituntaskan niscaya kasus – kasus kejahatan seksual akan terus bertambah. Adanya sistem yang jauh dari agama memberi ruang terjadinya kriminalitas di tengah masyarakat. Demokrasi melahirkan sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai mengatur di ranah ibadah saja, sementara rumah tangga, pergaulan, ekonomi, politik, pemerintahan diserahkan kepada kehendak manusia.
Manusia menganggap dirinya mampu mengatur manusia lainya. Negara tak mampu memberi sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual, yang dapat memberi efek jera bagi pelaku kekerasan seksual tersebut. Khalifah Umar bin Khattab pernah memberikan contoh pemberlakuan hukuman yang memberi efek jera (hukum rajam, atau jilid sebanyak 100 kali, atau diasingkan selama satu tahun), dimana hukuman tersebut dilakukan dengan disaksikan di hadapan orang mukmin yang banyak. Hal ini beliau lakukan karena Nabi memberi teladan dalam menyelesaikan kasus yang menimpa Al Ghomidiah.
Oleh karena itu untuk menuntaskan permasalahan kasus pemerkosaan ini hanya bisa di selesaikan dengan penyatuan antara agama yaitu islam dan kehidupan.Dengan kata lain menjadikan islam sebagai sistem kehidupan. Islam mengatur perempuan berpakaian untuk menutup auratnya dan berprilaku sesuai dengan hukum syara’. Hal ini mengurangi rangsangan bagi kaum laki-laki.
Aurat yang diumbar secara bebas, interaksi tanpa batasan serta aktivitas yang merusak akhlak telah berkontribusi dalam memengaruhi pikiran seorang guru untuk memerkosa anak didiknya, ayah untuk memerkosa anaknya, atau seorang kakak laki-laki memerkosa adiknya sendiri.
Islam pun memupuk keimanan dan ketakwaan perempuan dan laki-laki, memerintahkan untuk menundukkan pandangan,menjaga kemaluan, anjuran untuk menikah bagi yang sudah mampu dan berpuasa bagi yang belum mampu. Jika masih ada kasus pemerkosaan maka negara akan menghukum dengan tegas, yang bisa mencegah kejahatan, memberi efek jera, dan juga sebagai penebus dosa.
Abdurrahman al-Malikiy didalam Nizhâm al-Uqûbât menuliskan bahwa pelaku pelecehan atau pencabulan bila tidak sampai memerkosa korbannya maka akan dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Tetapi bila memerkosa, maka pelakunya dijilid 100 kali jika ghayru mukhshan -belum pernah menikah- (QS an-Nur [24]: 2); dan dirajam hingga mati jika pelakunya mukhshan (sudah pernah menikah). Jika disertai kekerasan, maka atas tindakan kekerasan itu juga dijatuhkan sanksi tersendiri sesuai hukum syara’.
Negara juga wajib mengawasi pemilik media untuk tidak menyebarkan konten yang berisi hal-hal yang membangkitkan naluri seksual dan akan menindak tegas jika melanggar syariat. Semua ini hanya bisa terjadi jika islam di terap dalam sebuah sistem pemerintahan dalam naungan negara, khilafah islam
Wallahu a’lam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar