Oleh: Ayu Susanti, S.Pd
Negeri zamrud khatulistiwa selalu menyimpan banyak kisah. Permasalahan seakan tidak pernah terhenti. Termasuk polemik BPJS yang tak kunjung usai. Bahkan ada kebijakan terbaru yang dikeluarkan berkenaan dengan BPJS ini.
Pemerintah menerbitkan aturan baru bagi anda warga Indonesia. Berlaku mulai Maret 2022 nanti, anda wajib memiliki Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehataan agar bisa mengurus berbagai keperluan. Seperti mengurus Surat Izin Mengemudi ( SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), hendak berangkat ibadah haji, dan jual beli tanah. Kewajiban itu tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. (https://bogor.tribunnews.com/, 20/02/2022).
Kebijakan baru ini tentu mendapatkan respon dari masyarakat. Ada yang merasakan bahwa kebijakan baru ini dirasa menghambat proses untuk mendapatkan pelayanan publik lainnya.
Sejumlah warga mengatakan kebijakan pemerintah yang menjadikan kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kurang tepat dan malah bisa menghambat prosesnya itu sendiri. Umar (24) seorang mahasiswa asal Bandung mengatakan aturan tersebut bisa menghambat bagi warga yang memang belum ikut program BPJS Kesehatan tetapi ingin membuat SIM. "Jadi menghambat urusan bikin SIM, SKCK dan lain lain. Apalagi kalau misalkan dibutuhkannya cepat, jadi repot itu," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (19/2). Warga lainnya, Ical (23) menyebut kebijakan menjadikan kartu BPJS Kesehatan untuk mengurus SIM, STNK, dan SKCK tidak berkorelasi dan kurang tepat. "Aneh saja, tidak ada korelasinya SIM-STNK ke BPJS. Entah sih di samping itu mungkin bisnis para petinggi biar pada punya BPJS," ujarnya. (https://www.cnnindonesia.com/, 21/02/2022).
Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah saat ini dirasakan kurang melayani urusan publik dengan baik, Pelayanan yang lainnya jadi cukup terhambat, dan masyarakat tidak bisa merasakan pengurusan yang tepat dan optimal.
Pengaturan urusan masyarakat jika dilandaskan kepada sistem hidup sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) akan menghasilkan sebuah kepengurusan yang tidak optimal. Dan terkesan justru masyarakat yang dijadikan korban. Karena pola pikir atau landasan yang mendasari lahirnya kebijakan-kebijakan publik berawal dari sudut pandangan materialisme, yakni memikirkan untung rugi dan asas manfaat saja. Sehingga jika dirasa kebijakan tersebut bisa menghasilkan keuntungan materi yang banyak maka akan diberlakukan. Walaupun misalnya kebijakan tersebut mengorbankan rakyat. Dengan adanya kebijakan diatas justru dikhawatirkan akan semakin membebani rakyat dengan kewajiban asuransi dan menyulitkan untuk mendapatkan fasilitas layanan publik yang lain.
Begitulah saat manusia yang mengatur segalanya bahkan sampai berwenang untuk membuat aturan sendiri dalam kehidupan. Maka aturan yang lahir tidak jauh berbeda sifatnya dengan manusia yakni banyak mengandung kelemahan dan keterbatasan serta tidak bisa mencapai hakikat yang benar.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam adalah aturan yang Allah turunkan kepada manusia untuk mengatur kehidupannya. Agar tak hanya selamat di dunia namun juga di akhirat. Jika manusia mau tunduk dan patuh kepada aturan Allah, maka dirinya tidak akan merasakan kesulitan. Justru Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ùˆَما Ø£َرْسَÙ„ْناكَ Ø¥ِلاَّ رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِÙ„ْعالَÙ…ِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107).
Dalam Islam, seorang pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang semua apa yang menjadi wewenangnya dalam kepemimpinan tersebut.
Abdullah bin Umar mengatakan, Rasulullah SAW berkata, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (HR Abu Dawud).
Sehingga saat pemimpin tersebut mengurusi kebutuhan masyarakat maka yang dijadikan sebagai landasan adalah keimanan, ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Dari landasan ini maka kebijakan yang dilahirkan pun akan sangat hati-hati dipikirkan dan tentu akan merujuk kepada sumber yang benar yakni kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk dalam urusan publik, Islam memandang bahwa rakyat harus terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan cuma-cuma dan kualitas terbaik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, sandang, pangan, dan papan. Pemerintah akan melayani dengan sepenuh hati layanan publik tersebut termasuk kesehatan tanpa harus membebani rakyatnya dengan hal lain.
Begitulah perbedaan pengurusan urusan dalam Islam dan sistem sekulerisme buatan manusia. Sehingga jika kita ingin merasakan ketenangan dalam hidup maka sudah saatnya kita kembali kepada aturan Allah secara menyeluruh.
Wallahu’alam bi-showab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar