Oleh : Neng Sri Yunita, S.Pd.
Di tengah himpitan ekonomi yang serba sulit akibat wabah covid-19 yang tak kunjung usai, serta terus meroketnya harga bahan pangan, lagi-lagi masyarakat harus menelan pil pahit. Dimana warga harus terbebani lagi dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah mengenai kepesertaan BPJS. Derita yang terus bertubi-tubi melanda masyarakat di negeri ini.
Mulai Maret 2022, pemerintah menerbitkan aturan baru bagi warga Indonesia. Aturan tersebut yakni sebagai warga negara Indonesia wajib memiliki BPJS Kesehatan agar bisa mengurus berbagai keperluan. Diantaranya untuk mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), hendak berangkat ibadah haji, dan jual beli tanah. Kewajiban tersebut tercantum dalam Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam aturan tersebut, Jokowi meminta pihak kepolisian untuk memastikan pemohon SIM, STNK, dan SKCK merupakan peserta aktif BPJS Kesehatan.
“Melakukan penyempurnaan regulasi untuk memastikan pemohon SIM, STNK, SKCK adalah peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).“ demikian bunyi Inpres No. 1 Tahun 2022.
Selain itu Presiden Jokowi juga mengisntruksikan Menteri Agama untuk memastikan pelaku usaha dan pekerja yang ingin beribadah Umrah dan Haji merupakan peserta aktif dalam program JKN. Presiden Jokowi juga mengintruksikan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga mengumumkan kartu BPJS kesehatan akan menjadi syarat jual beli tanah. (Tribunnews.com, 20/02/2022)
Pemerintah mengklaim penetapan kebijakan ini dalam rangka penyempurnaan pelayanan bagi masyarakat. Namun faktanya kebijakan ini justru menambah beban bagi masyarakat. Seolah rakyat dipaksa secara sistematis untuk tunduk pada kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan dan memperburuk kondisi finansialnya. Betapa tidak membebani rakyat, kebijakan terkait BPJS ini mengaharuskan setiap warga membayar premi, terdapat sanksi/denda atas keterlambatan pembayaran dan adanya kenaikan iuran BPJS.
Begitulah potret buram bentuk kepengurusan layanan publik dalam sistem kapitalisme. Dimana sistem kapitalisme berorientasikan asas manfaat semata dan berorientasi pada pencapaian materi semata. Sehingga menjadikan layanan public, dan layanan kesehatan cenderung dijadikan ajang komersialisasi. Negara hanya berperan sebagai regulator semata, dan menjadikan sektor swasta mengambil alih fungsi pelayanan masyarakat. Pada akhirnya rakyat akan semakin terjerat dan kenestapaan dan semakin sulit dalam memenuhi kemaslahatan hidup mereka.
Sangat jauh berbeda antara pelayanan publik dalam sistem kapitalisme dibandingkan dengan pelayanan publik dalam sistem Islam di bawah naungan Daulah Islam. Dalam sistem Islam dibawah naungan Daulah Islam tidak ada kecenderungan asas materislistis dalam menyelenggarakan pelayanan umum, karena negara berperan sebagai pengurus keperluan umat. Tidak ada tindakan komersialisasi dalam layanan publik dan kesehatan dalam Islam, karena hal tersebut telah nyata keharamannya. Sebagaimana sabda Nabi Saw., "Siapa saja yang menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak pada hari kiamat." (HR. Bukhari).
Dalam sistem Islam tidak akan ada syarat yang mempersulit masyarakat seperti yang terjadi saat ini, dimana penguasa negeri ini yang menganut sistem kapitalisme mewajibkan BPJS untuk mengurus SIM, STNK, SKCK, berangkat haji dan umroh dan jual beli tanah. Dalam sistem Islam di bawah naungan Daulah Islam negara wajib memberikan layanan tersebut secara baik dan sempurna. Terdapat 3 hal yang harus dipenuhi terkait layanan masyarakat dalam sistem Islam. Diantaranya, adanya kesederhanaan aturan yang akan memberikan kemudahan dan kepraktisan dalam pelayanan publik. Kemudian kecepatan dalam pelayanan transaksi dimana aturan ini akan mempermudah bagi siapa saja yang memiliki keperluan, dan yang terakhir adalah perkerjaan tersebut harus ditangani oleh tenaga ahli yang professional sehingga pelayanannya dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat.
Dalam dalam hal pemenuhan kesehatan warganya dalam sistem Islam kesehatan menjadi salah satu jenis kebutuhan dasar publik. Sehingga karena pemenuhan jaminan kesehatan merupakan kebutuhann dasar maka haram hukumnya untuk dijadikan ajang komersialisasi. Jaminan kesehatan warga menjadi tanggung jawab mutlak bagi negara dalam sistem Islam. Kebutuhan akan pemenuhan layanan kesehatan ditanggung oleh negara secara penuh. Mulai dari fasilitas kesehatan, tenaga medis, obt-obatan, dan hal-hal yang berkaitan dengan sarana pemenuhan kebutuhan dasar layanan kesehatan jaminan tersebut dipastikan dapat diperoleh secara gratis dan tentunya layanannya merupakan layanan prima atau berkualitas. Adapun dananya berasal dari baitul mal.
Demikianlah Islam memiliki aturan yang sangat paripurna bagi seluruh problematika kehidupan. Karena aturan Islam datang dari Sang Maha Sempurna. Oleh karena itu sudah saatnya kita berkontribusi menjadi bagian dalam penegakkan Daulah Islam dan penerapan syariah Islam Kaffah.
Wallahu A`lam Bisha-Whab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar