Oleh : Raihana Radhwa (Ibu Rumah Tangga)
Topik penundaan pemilu 2024 berawal sejak Januari 2022 saat pertama kali diungkapkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia. Ia beralasan dengan mengutip sebuah survei di mana tingkat kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo mencapai 70%. Bahlil pun menambah argumen dengan tingginya harapan dari para pengusaha agar tak ada goncangan politik saat ekonomi merangkak stabil pasca bencana pandemic (bbc.com, 1/3/22). "Karena mereka ini baru selesai babak belur dengan persoalan kesehatan. Ini dunia usaha baru mau naik. Baru mau naik, ditimpa lagi dengan persoalan politik," kata Menteri Bahlil yang dikutip dari Kompas TV.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar memiliki pendapat senada. Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 akan memberi kepastian pada pelaku usaha yang tahun ini sedang bergeliat. Gayung bersambut, usulan ini juga didukung oleh pimpinan dari Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua PAN, Zulkifli Hasan (bbc.com, 1/3/22).
Jauh sebelum usulan penundaan Pemilu 2024, wacana tiga periode Presiden Jokowi pernah mengemuka dan memantik polemik pada November 2019 (bbc.com, 1/3/22). Baik wacana penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan, sama-sama berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden serta perangkat jabatan kekuasaan yang lain misalnya anggota DPR.
Berseberangan dengan pendapat perlunya penundaan Pemilu, pemuka partai-partai lain angkat suara menolaknya. PDIP, Gerindra, Demokrat, PPP, dan PKS sepakat penundaan pemilu memberikan dampak negatif pada perpolitikan Indonesia karena ada perangkat peraturan yang perlu diubah.
Meski alasan fokus perbaikan ekonomi dikemukakan, banyak pengamat menyorot wacana ini digulirkan elit partai bukan demi maslahat publik tapi demi memperpanjang masa jabatan yang menguntungkan mereka dan sekaligus menambah waktu menyiapkan diri berkontestasi untuk kursi kekuasaan berikutnya.
Pengamat politik dari LP3ES, Wijayanto menguatkan opini tujuan penundaan Pemilu 2024 "untuk memperpanjang kekuasaan" (bbc.com, 1/3/22). Wijayanto juga mengingatkan penundaan Pemilu 2024 dapat menimbulkan spekulasi di antaranya untuk mengamankan proyek-proyek perpindahan ibu kota, mengamankan paket Omnimbus Law, parpol-parpol yang tidak siap berkompetisi 2024, kekhawatiran kalau rezim nanti berubah ada banyak kasus yang terungkap.
Silang pendapat penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan sejatinya berawal dari kesalahan cara pandang terhadap kekuasaan. Kekuasaan diyakini sebagai jabatan dan kedudukan yang dengannya seseorang atau sekelompok orang dapat menggunakan sumberdaya yang dimiliki suatu teritori untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri. Cara pandang ini menumbuhkan sistem politik yang oportunis, machiavelis (menghalalkan segala cara), dan berpotensi menjerumuskan para politisi berbuat kezhaliman terhadap rakyatnya.
Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elit politik minim empati. Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktifitas politik justru luput dari perhatian dan bukan prioritas perjuangan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Politik Islam juga dikenal sebagai politik ibadah dan dakwah, artinya seseorang berusaha meraih kekuasaan serta menjalankannya dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Allah yang dibebankan kepada penguasa. Hukum-hukum publik dalam Islam dijalankan dengan kekukasaan agar rakyat yang hidup dalam kekuasaannya dapat menjalankan syariat Islam dalam kesehariannya. Sebagai contoh, dalam Islam penguasa wajib membangun sekolah-sekolah agar rakyat dapat mencari ilmu sebagai perbuatan yang wajib bagi kaum muslimin. Sebaliknya, penguasa harus mencegah berdirinya kantor simpan pinjam ribawi agar rakyat terhindar dari kemaksiatan riba dalam ekonominya.
Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).
Sebagai tambahan, politik Islam juga dikenal dengan politik keumatan artinya kekuasaan yang didapatkan tak lain merupakan kesediaan untuk melayani kemaslahatan rakyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw bahwa pemimpin adalah pelayan. Sebagai pelayan, maka kepentingan utama dalam kekuasaan Islam adalah kepentingan rakyat bukan kepentingan partai, golongan, apalagi kepentingan pribadi.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ، مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim).
Dari cara pandang politik Islam di atas tergambar jelas bagaimana kemuliaan aktivitas politik dalam Islam. Untuk menjaga kemuliaan itu Allah mengancam dengan keras tindakan penguasa yang zalim dan menipu rakyat untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. Kekuasaan juga dipandang sebagai amanah yang berat, yang membutuhkan tak hanya fisik yang kuat namun iman dan taqwa sekokoh karang di tengah lautan. Cara pandang inilah yang menjadikan Islam mampu mencegah lahirnya politisi haus kekuasaan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar