Oleh : Tursinah (Aktivis Muslimah Karawang)
Presiden Joko Widodo mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Menurut Jokowi jangan sampai dengan mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah radikal. "Saya bilang kalau diibaratkan penyakit kanker, maka penetrasi paham-paham radikal ini diibaratkan sudah masuk pada stadium keempat, jangan keliru. Sangat kritis," kata Ngabalin.
Tenaga Ahli Utama Kantor Stat Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan "Anda bisa bayangkan kalau dia berceramah di atas mimbar dan dia membandingkan antara pilih Alquran atau Pancasila, kira-kira itu paham apa? Paham radikal". "Paham radikal itu dipakai oleh para ekstrimisme dan para teroris jadi mimbar-mimbar dengan tren agama dipakai untuk mengacaukan situasi politik dan situasi sosial kehidupan masyarakat." (suara.com 6/3/22).
Kata radikal kembali jadi perbincangan panas setelah viralnya daftar penceramah radikal. Nama yang terdapat pada daftar tersebut adalah ustadz-ustadz yang notabennya dijadikan rujukan. Tak terkecuali juga ustadz kondang yang memiliki banyak followersnya.
Makna radikal secara umum sendiri adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik, bisa ke arah lebih baik ataupun sebaliknya. Namun pemerintah sendiri memiliki parameter bahwa kata gori radikal ketika seseorang tidak mengakui pancasila atau anti pemerintahan.
Dari sini jelas makna radikal yang dikatagorikan oleh BNPT ada kepentingan politik, dianggap penceramah tersebut akan mengancam eksistensi pemerintahan. Seharusnya dalam menilai agama harus menggunakan parameter agama bukan parameter politik.
Sungguh sangat disayangkan ketika persoalan di negeri ini carut marut dari langka nya minyak goreng, kasus KKB yang menewaskan baru baru ini 8 pekerja PTT . Namun pemerintah malah memprovokasi rakyat agar tak undang penceramah radikal, sebenarnya apa tolak ukur radikal itu? Padahal menurut Ustadz Ismail Yusanto, dulu yang dikatakan biasa biasa saja kini bisa dikatakan radikal.
Sebetulnya penyebab dari disematkannya gelar radikal negatif kepada para ustadz yang kritis terhadap kebijakan penguasa adalah sistem kapitalis yang berasaskan kebebasan. Dari kebebasan inilah timbul kepentingan alhasil siapapun yang mengganggu kepentingan akan disemati kata radikal yang berkonotasi negatif. Negatif disini dalam artian mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai syariat Islam.
Rakyat sudah bisa menilai dengan cerdas apa yang pemerintah narasikan, rakyat justru mengkritisi sebaliknya. Sebab yang terdaftar dalam 180 tokoh radikal itu yang umat cintai, yang mendakwakan Islam secara murni tanpa dinodai oleh kepentingan politik demokrasi.
Islam Memandang
Islam adalah agama yang sempurna, yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam sejarah peradaban islam ulama dan umaro ( penguasa ) tidak bisa dipisahkan. Karena kebijakan penguasa, ulama lah yang mengoreksi sesuai syariat Islam. Sementara dinegeri ini sematan radikal tertuju kepada para ustadz yang mendakwahkan Islam.
Tidak semestinya sematan radikal dalam persfektif negatif tertuju pada ustadz dan ulama. Sebab merekalah yang akan menuntun negri ini ke arah perubahan lebih baik, bukan sebaliknya. Maka Isu radikal yang dibangun BNPT ini dirasa kurang tepat atau salah sasaran.
Maka sudah seharusnya, kaum muslim harus menyadari kerusakan sistem yang sudah mengakar ini, dan beralih kepada aturan Islam yang rahmatan lil 'alamin dari sang pencipta yaitu Allah Subhanahu wata'ala.
Wallahu'alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar