Oleh : Ambu Odah
Dalam Perda Kabupaten Sumedang No 10 Tahun 2019 tentang Kabupaten Layak Anak, dinyatakan bahwa Kabupaten Layak Anak (KLA) adalah kabupaten yang mempunyai system pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Adapun pemenuhan hak anak dikelompokkan ke dalam 5 klaster yaitu :
1. Hak sipil dan kebebasan
2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative
3. Kesehatan dasar dan kesejahteraan
4. Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya
5. Perlindungan khusus
Sumedang merupakan kabupaten yang terus berupaya untuk mewujudkan Kabupaten Layak Anak, dan hal tersebut dibuktikan dengan peraihan predikat KLA Pratama pada tahun 2020 dan KLA Madya tahun 2021.
Apakah dengan menyandang predikat KLA tersebut hak-hak anak bisa terpenuhi sehingga mereka bisa hidup dengan nyaman dan menikmati masa kanak-kanaknya sebagaimana mestinya? Ternyata ironis, fakta menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan merupakan fenomena gunung es.
Pada tahun 2021 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) mencatat kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sumedang mayoritas merupakan kasus kekerasan seksual dan penyimpangan seksual anak seperti sodomi, pelecehan seksual oleh ayah, kakek, teman, tetangga dan orang terdekat.
Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan, kasus kekerasan terhadap anak meliputi tindakan eksploitasi, pelecehan seksual, pencabulan dan percobaan pemerkosaan. Selain itu masih ditemukan pula kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan buliying. Bahkan baru-baru ini belum lama setelah Sumedang meraih KLA Madya, warga dikejutkan dengan adanya kasus anak yang dirantai dan sering mengalami penyiksaan.
Dengan adanya program KLA seharusnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak bisa diminimalisir karena seluruh elemen baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha mempunyai komitmen untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Faktanya kita masih melihat adanya inkonsistensi dan ketidakterpaduan antara program pembangunan yang satu dengan yang lainnya.
Hal tersebut antara lain dapat kita lihat misalnya ketika institusi keluarga yang seharusnya menjadi tempat untuk anak dapat tumbuh dan berkembang dengan nyaman dan penuh kasih sayang, sekarang menjadi tatanan yang rapuh, rawan ekonomi dan mengalami pergeseran peran di dalamnya.
Menyikapi kondisi seperti itu pemerintah malah mengambil kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP). Demikian pula dunia usaha dalam merekrut karyawannya lebih memberi ruang kepada kaum perempuan. Dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut akan menambah beban kaum perempuan sehingga peran seorang ibu sebagai pengelola rumah tangga dan memberikan perlindungan terhadap anak akan terganggu, sehingga anak menjadi kurang perhatian. Bahkan yang paling miris ketika ekonomi keluarga masih rapuh dan tidak terdongkrak oleh peran perempuan, banyak anak yang diperlakukan sebagai mesin uang oleh keluarganya, akibatnya anak tidak punya cukup waktu untuk memasuki dunia pendidikan. Diantaranya ada pula yang sudah habit mencari uang akhirnya tidak mau bersekolah.
Selanjutnya ketika masa pandemic covid -19 kebijakan dunia pendidikan menuntut anak didik untuk belajar secara daring, mau tidak mau anak akan bergaul erat dengan gadget dimana kita ketahui bahwa melalui gadget informasi apapun baik positif maupun negative akan mudah diserap oleh anak, sementara pemerintah tidak melakukan upaya dengan serius untuk menutup hal-hal yang sekiranya akan membahayakan bagi moralitas anak. Akibatnya banyak kekerasan yang terjadi disebabkan karena anak menyerap pengaruh negative dari gadget.
Ketidakkonsistenan dan ketidaksinergian berbagai program tersebut seringkali terjadi dalam system demokrasi kapitalistik yang mendasarkan segala sesuatu pada aturan buatan manusia. Padahal kita ketahui bahwa manusia itu memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kerap dikuasai oleh hawa nafsu dan kepentingan.
Berbeda dengan system Islam yang merupakan aturan buatan Allah Swt Yang Maha Sempurna. Islam mengatur segala sesuatu dengan penuh keteraturan. Kebijakan ekonomi dalam Islam mencirikan adanya distribusi sumber daya secara merata, pemenuhan kebutuhan dasar secara cuma-cuma dan pemerintahpun hadir dalam penguatan peran ayah sebagai pencari nafkah bagi keluarga sehingga terwujud ketahanan keluarga yang mampu memberikan hak-hak setiap elemen dalam keluarga termasuk hak anak.
System pendidikan yang berbasis aqidah Islam mampu melahirkan generasi yang tangguh dan berkepribadian utuh. Kemudian dengan bekal keimanan dan ketaqwaan setiap keluarga akan selalu siap untuk melindungi anak sebagai amanah dari Allah Swt. Sementara itu di luar sana masyarakat juga tidak merasa sungkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar sebagai bentuk kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Selanjutnya negara juga senantiasa menjadi institusi penjaga agar semua berjalan dalam koridornya, melalui kebijakan-kebijakan yang benar-benar mampu menciptakan situasi yang kondusif dan terpadu.
Dalam kondisi seperti itulah setiap anak akan mendapatkan perlindungan berlapis dan terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan. Wallahu a’lam .
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar