Oleh : Yuliana Suprianti (Anggota Lingkar Study Muslimah Bali)
Presiden Jokowi berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN), Kalimantan Timur pada hari senin 14 Maret 2022. Pada acara tersebut dijadwalkan pula hadir para gubernur se-Indonesia untuk melaksanakan ritual "Kendi Nusantara". Ritual tersebut juga dihadiri oleh 15 tokoh se-Kalimantan Timur. Adapun ritual ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan air da tanah dari seluruh Provinsi di Indonesia untuk disatukan dalam satu kendi yang dinamai Kendi Nusantara di titik nol IKN. Karena itu para gubernur yang hadir diminta untuk membawa 1 liter air dan 2 kilogram tanah. Lokasi pengambilan tanah dan air ini didasari pada filosofi masing-masing gubernur sedangkan penyatuan dalam satu kendi ini dinilai memiliki filosofi yaitu sebagai pengingat asal usul nenek moyang dan kearifan leluhur.
Seorang Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai ritual ini sebagai sebuah praktik Politik Klenik yaitu suatu praktik politik mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasarkan imajinasi irrasionalitasnya yang meyakini mistisme tertentu. Praktik ini juga disebut sebagai bentuk kemunduran politik, yang seharusnya menjadikan rasionalitas sebagai syarat dalam implementasi kebijakannya.
Terlebih lagi praktik klenik ini berlangsung di atas gelombang penolakan terhadap proyek pembangunan IKN yang terus bergulir. Bagai angin lalu, protes dan masukan rakyat seperti tidak dihiraukan bahkan tidak menghalangi proyek IKN ini. Rasanya sangat wajar rakyat memberikan penolakan di tengah defisit nya APBN, semakin tingginya hutang dan masih banyaknya sarana seperti jalan, sekolah dan sarana lainnya yang justru jauh dari kata layak.
Hal ini semakin membuka topeng Demokrasi yang katanya menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Karena kedaulatan di tangan rakyat, maka hal ini menjadi alasan untuk mengabaikan agama dalam mengambil kebijakan. Sangat miris ketika sebuah negeri muslim terbesar di dunia menjalankan praktik klenik yang tidak pernah di contohkan Rasulullah SAW dan di syari'atkan oleh Allah SWT. Bagaimana mungkin akan terwujud tatanan kehidupan yang berkah, jika syari'at Allah SWT tidak menjadi acuan dalam perbuatan. Memisahkan antara agama dan kekuasaan adalah sesuatu yang legal bagi Demokrasi. Jadi Demokrasi bukan hanya soal memberikan ruang bagi rakyat untuk bersuara agar tidak disebut sebagai pemerintahan tangan besi atau pemerintahan otoriter.
Bahkan teori mengedepankan suara rakyat inipun tidak sejalan dengan faktanya. Buktinya, penolakan pembangunan IKN tetap berlangsung walaupun rakyat sudah menunjukkan protes dan penolakannya. Bahkan terbit dari lingkaran rezim hari ini UU IKN yang pengesahan nya begitu mendadak dan terkesan menjadi tameng dari gelombang penolakan rakyat. Berdasarkan fakta ini apakah kita masih yakin Demokrasi adalah suara rakyat?
Selain itu, seharusnya seorang pemimpin bisa menjadi pilar yang melindungi aqidah dan perbuatan rakyatnya agar tidak terjerumus ke dalam kesyirikan dan kesesatan. Bukan justru mencontohkan aqidah dan perbuatan yang menyalahi islam. Seluruh kaum muslim khususnya seorang pemimpin harusnya menjadikan islam sebagai panduannya bukan sebagai musuhnya yang harus di marginalkan perannya sebagaimana fakta saat ini. Dalam islam, pemimpin diibaratkan sebagai seorang pengembala yang menjaga dan merawat gembalaannya dari hal-hal yang membahayakannya.
Pemimpin dalam islam akan menjadikan kekuasaannya untuk menjaga agama Allah sebab kekuasaan adalah hal yang akan dimintai Pertanggungjawaban nya oleh Allah. Inilah yang dimaksud agama (islam) adalah al Huda (petunjuk) yang sering kita baca dalam sholat dan do'a kita. Bukan sebatas menjadikan agama sebagai aksesoris untuk meraih suara dan dukungan kaum muslim saja lalu setelah itu ditinggalkan dan tidak berperan apa-apa dalam kehidupan. Sesungguhnya karakter pemimpin seperti ini tidak akan lahir dalam sistem sekulerisme Demokrasi yang sejak dari awal menegaskan agama terpisah dari kehidupan.
Wallahua'lam bishowwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar