Politik Klenik, Wajah Hitam Sistem Demokrasi


Oleh : Indah Kurniawati

Presiden Jokowi berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN), Kalimantan Timur, Senin (14/3). Dalam acara tersebut, dijadwalkan juga hadir para gubernur se-Indonesia untuk melaksanakan ritual 'Kendi Nusantara'.Untuk pelaksanaan ritual 'Kendi Nusantara', para gubernur diminta membawa tanah dan air dari daerah asalnya masing-masing. 

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Juru Bicara Gubernur Kalimantan Timur, HM Syafranuddin. "Air satu liter dan tanah sekitar 2 kilogram, nantinya akan disatukan dalam kendi. Kendi Nusantara namanya. Kendinya besar, saya lihat terbuat dari tembaga," kata Syafranuddin, Sabtu (12/3). Selanjutnya, ujar dia, tanah dan air tersebut akan diisikan ke dalam 'Kendi Nusantara' untuk disimpan di titik nol IKN Nusantara. Para gubernur se-Indonesia mengumpulkan tanah dan air dari daerah masing-masing. Lokasi pengambilan dipilih berdasarkan filosofi yang ditetapkan oleh para gubernur tersebut.

Ritual mengisi Kendi Nusantara yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama 34 gubernur se-Indonesia di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dinilai sebagai bentuk politik klenik. "Praktek semacam itu dalam terminologi sosiologi budaya dan sosiologi politik bisa dikatagorikan sebagai politik klenik. Suatu praktik politik mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasar imajinasi irasionalitasnya yang meyakini semacam adanya mistisisme tertentu," kata pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun kepada Kompas.com, Minggu (13/3/2022). 

Menurut Ubedilah, praktik mengisi Kendi Nusantara dan membawa tanah dan air dari seluruh provinsi adalah sesuatu yang mengada-ada tetapi diyakini sebagai sebuah hal yang mengandung pesan mistik. "Politik klenik itu menunjukkan suatu kemunduran peradaban politik. Praktik itu bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Sebab politik modern yang menghadirkan pemerintahan modern meniscayakan syarat rasionalitas dalam seluruh implementasi kebijakannya. Membawa kendi berisi air dan tanah dari 34 provinsi itu sesuatu yang irasional," ucap Ubedilah.

Tentu saja ritual kendi nusantara itu menggelitik rasionalitas masyarakat yang dikenal mayoritas umat muslim. Bukan tidak mungkin politik klenik yang dipamerkan itu justru mengundang azab dari sang kholiq, sebab dalam ritual tersebut mempercayai adanya kekuatan besar selain sang pencipta alam semesta Allah subhanahuwata’ala. Sedangkan mempercayai zat lain selain Allah azza wajala adalah perbuatan syirik, seperti dalam firman Allah.
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ
“sembahlah Allah semata dan janganlah berbuat syirik dengan sesuatu apapun”  (QS. An-Nisa:36)

Keberadaan politik klenik yang masih eksis dipercayai sebenarnya tidak lepas dari sistem yang dipercaiyai pemerintah saat ini. Seperti yang diketahui demokrasi yang menjadi azas politik dalam negeri ini bersumber pada sekulerisme , yaitu sebuah paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Tentu saja sisitem ini akan berdampak pada pola sikap dan pola fikir masyarakat maupun penguasanya, mereka tidak mengindahkan aturan syariah dalam sebuah perbuatan. Alhasil mereka tidak akan mengenal perkara halal dan haram ataupun larangan dan perintah Allah sebagai pengatur kehidupan. Justru kesyririkan dilanggengkan  sebagai sebuah ritual untuk mempersatukan dan meredakan gejolak publik seperti ritual yang dilakukan dalam kendi nusantara tadi.

Inilah gambaran wajah hitam dari sistem demokrasi yaitu menjadikan masyarakat terbelakang dengan konsep kesyirikan. Andaikata bicara masalah simbol untuk mengatur keadaan dan keberkahan sebuah negeri , cukuplah rasulullah sang penerima wahyu dijadikan sebagai teladan.

Ketika Rasullulah berhasil mendirikan negara islam pertama di madinah, heterogenitas masyarakat saat itu menjadi tantangan masyarakat tersendiri. Mungkin jika heterogenitas ini tidak dilebur dan disatukan dengan prinsip yang benar pasti akan menimbulkan kekacauan. Seperti yang diketahui waktu itu madinah dihuni 3 kelompok besar, yaitu pertama kelompok muslim dari kalangan muhajirin dan anshar sebagai mayoritas penduduk madinah,  kedua kelompok musyrik dari bani aus dan khazraj yang belum memeluk islam dengan jumlah sedikit diantarakaumnya, yang ketiga kelompok yahudi yang terbagi menjadi beberapa golongan.

Maka di awal kepemimpinan Rasullulah, beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar dengan ikatan akidah islam bahwa merekan adalah satu saudara. Lalu beliau menyatukan bani aus dan khazraj yang senantiasa bermusuhan sejak zaman jahilliyah dengan suasana keislaman merekan tunduk dengan pemikiran, perasaan, dan pengaturan islam sehingga tidak ada lagi permusuhan kesukuan dintara mereka. Adapun untuk kelompok yahudi Rasulullah mengadakan perjanjian perjanjian politik untuk mengikat mereka dengan tujuan untuk mencegah adanya profokasi samar dan kelicikan kaum yahudi kepada kaum masyarakat dan daulah islam.

Dengan demikian pembangunan negara pertama islam dimadinah dipenuhi oleh suasana keimanan yang membawa keberkahandan kebaikan. Bukan hal- hal mistis sebagaimana yang dilakukan hari ini. Sebagaimana firman Allah QS. Al- A’rof ayat 96
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al- A’rof : 96)




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar