ANTI TEROR ATAU JUSTRU MENEROR


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kembali terjadi, Detasemen khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menembak mati dokter Sunardi di Jalan Bekonang,  Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu, 9 Maret 2022 malam karena diduga terlibat jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). (fajar.co.id, 12/03/2022)

Sebelumnya, terjadi juga hal yang sama.  Pada tanggal 8 Maret 2016, Densus 88 menangkap Siyono yang akhirnya juga meninggal dengan luka penuh lebam yang diduga akibat tindakan penyiksaan dan penganiayaan di sebuah rumah di Dusun Pogung, Desa Brengkungan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, karena diduga juga terlibat jaringan JI. ( kompas.com, 30/03/2016)

Aksi Densus 88 cenderung represif terhadap yang masih disebut terduga teroris. Hampir setiap penangkapan terduga teroris, Densus 88 melakukan tindakan unlawful killing atau extrajudicial killing, yaitu suatu tindakan dengan bentuk apapun oleh aparat penegak hukum yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan.

Menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat,  Chandra Purna Irawan, 
"Sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan." (republika.co.id, 12/03/2022)

Jika negeri ini adalah negara hukum, seharusnya memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law). Namun jika yang terjadi sebaliknya, aparat langsung menghukum atau menembak mati, maka hal ini bisa dikategorikan tindakan tanpa hukum (extrajudicial killing).

Chandra mengatakan, apabila indikasi extrajudicial killing terjadi, maka merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang yang telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kontitusi dan peraturan di bawahnya telah menjamin seperti hak hidup dan hak atas pengadilan yang adil.

Dibentuknya aparat khusus adalah untuk menciptakan keamanan dan mengamankan masyarakat dari tindakan teror. Tetapi yang terjadi masyarakat malah semakin cemas, ketakutan dan resah akan keselamatannya dengan  melihat fakta yang terjadi, karena suatu saat bisa saja hal tersebut terjadi pada mereka.

Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua yang nyata-nyata membunuh dan meneror warga sipil, tidak disebut teroris, mereka hanya disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Lagipula saat ini krisis yang terjadi adalah kelangkaan minyak goreng, naiknya berbagai kebutuhan pokok masyarakat, dan  ekonomi rakyat yang terpuruk akibat pandemi bukan teroris.

Tidak bisa dipungkiri, Detasemen dibentuk sebagai respon dari seruan dan kampanye global melawan terorisme, "war on terrorism" Amerika setelah runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001, yang mana dengan  membidik kaum muslim sebagai obyeknya, karena sebagian besar korbannya adalah negeri muslim, kelompok Muslim dan orang yang beragama Islam seperti Hamas misalnya,  mereka menyebutnya sebagai kelompok teroris karena mempertahankan Palestina dari penjajahan Israel, tetapi Israel yang melakukan invasi dan aksi teror tidak disebut sebagai teroris. Pelabelan teroris hanya untuk Islam, seperti teroris Islam, militan Islam dan radikal Islam. Tidak pernah ada yang menyebut teroris Yahudi, teroris Israel, teroris Hindu, teroris Macan Tamil, teroris Kristen, dll. 

Hingga akhirnya, tahun 2002, lahirlah Inpres 4/2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Aturan ini kemudian dipertegas dengan terbitnya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan  terorisme dalam bentuk Perpu No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Sampai  hari ini, sudah  22 tahun, istilah  “terorisme” terus dipakai untuk menstigmatisasi Islam, hingga menghasilkan islamofobia, yaitu takut terhadap ajaran Islam dan umatnya, terutama tentang ajaran khilafah. 

Karena itu, tindakan extrajudicial killing kepada yang masih terduga teroris, akan terus ada dan terus berulang selama sistem kepemimpinan umat masih dalam genggaman sistem demokrasi kapitalisme. Oleh sebab itu, umat Islam seharusnya mempunyai kesadaran politik agar tidak masuk dalam  jebakan Barat yang menjauhkan kaum muslim dari ajaran Islam Kaffah,  sehingga tidak terpengaruh propaganda dan skenario mereka untuk terlibat dalam upaya memerangi terorisme, radikalisme dan deradikalisasi.

Barat, yaitu Amerika dengan ideologi "kapitalisme" nya berwujud negara, karena itu mereka dengan mudah membuat berbagai skenario dan propaganda seperti kampanye terorisme.  Untuk mengimbangi kekuatan ideologi Barat, umat Islam harus mengimbangi pula dengan ideologi Islam. Ideologi kapitalisme yang diemban oleh sebuah negara yang mampu membuat skenario dan propaganda terhadap isu terorisme, harus dilawan dan dibantahkan oleh sebuah ideologi juga, yaitu ideologi Islam. Karena itu, umat harus memiliki kesadaran politik Islam.

Untuk itu umat harus fokus dan serius untuk menegakkan khilafah, karena khilafah adalah bentuk kekuatan politik umat Islam yang berbentuk negara untuk menghadapi propaganda musuh Islam. 

Ideologi Islam saat ini hanya diemban oleh individu dan kelompok dakwah saja, bukan negara. Karena itu, kaum muslim harus melibatkan diri pada kajian-kajian Islam yang membahas seluruh ajaran Islam, mulai dari ibadah, syariah, hingga khilafah serta mendakwahkannya. Dengan demikian, pemahaman umat akan ajaran Islam Kaffah segera tercapai, sehingga tercapai pula penegakan khilafah, dan nyawa kaum muslimpun akan terlindungi dalam naungan khilafah.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar