Memilih Pemimpin : Jangan Lagi Berpedoman Demokrasi!


Oleh : Yuliana Suprianti

Wacana penundaan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 terus bergulir. Tak dapat dihindari isu ini turut menyeret wacana perpanjangan masa jabatan Presiden. Usulan yang pertama kali diucapkan Ketua Umum Partai Kebangkitan (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin itu sampai sekarang masih menuai polemik. Belakangan, Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto meminta semua pihak menghentikan pembahasan wacana penundaan pemilu 2024. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) menunjukkan 77 persen menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah merinci sebanyak 46 persen tidak setuju dan 31 persen sangat tidak setuju. Adapun yang setuju dan sangat setuju hanya 24 persen. Sementara Muhaimin Iskandar mengacu pada big data perbincangan di media sosial yang dikatakan dari 100 juta subjek akun di medsos 60 persen diantaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.

Wakil Ketua DPR ini mengakui bahwa temuan big data berbeda dengan hasil survei yang kebanyakan menyatakan tidak setuju dengan adanya wacana penundan pemilu atau penambahan masa jabatan Presiden. Ia menegaskan bahwa penundaan pemilu murni merupakan inisiatif dirinya. Namun meski begitu, usulan tersebut lantas didukung oleh Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Pada Januari lalu, usulan memperpanjang masa jabatan Presiden juga disampaikan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Bahlil mengklaim usulan itu datang dari para pengusaha yang bercerita kepadanya. Meski tiga partai politik mendukung wacana penundaan pemilu, lima parpol lain yang memiliki kursi di MPR/DPR, yakni PDIP, Nasdem, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan menyatakan menolak. Presiden Joko Widodo sendiri telah berulang kali menyatakan sikapnya terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Jokowi menolak wacana tersebut dan mengaku tidak berminat menjabat hingga tiga periode. Anggaran pemilu 2024 juga sudah disampaikan bahwa jumlahnya mencapai 110,4 Triliun. Dengan alokasi untuk KPU 76,6 Triliun dan Bawaslu 33, 8 triliun. 

Membaca hal ini, Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro menduga grand design isu penundaan pemilu berasal dari orang-orang di sekitar Presiden, baik elit politik atau pelaku bisnis. Mereka adalah kalangan yang selama ini diuntungkan oleh kekuasaan yang merasa cemas kenyamanannya terusik jika kepemimpinan Jokowi berakhir. Berdasarkan hal ini sangat nampak bahwa meski alasan agar fokus perbaikan ekonomi dikemukakan, namun banyak pengamat menyorotbahwa wacana ini digulirkan elit partai bukan demi kepentingan publik tetapi demi memperbanyak masa jabatan yang menguntungkan mereka dan sekaligus menambah waktu menyiapkan diri untuk berkontestasi untuk kursi kekuasaan berikutnya. Sementara itu, pihak oposisi menolak wacana tersebut karena tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi. Inilah watak asli sistem demorasi yang mencetak para elit politik  minim empati dan lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya. Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politik, justru luput dari perhatian dan tidak lagi menjadi prioritas untuk diperjuangkan oleh penguasa. Pemilu  yang ditopang oleh sistem demokrasi tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah sehingga bisa dipastikan pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat kecuali sedikit yang itupun hanya untuk politik pencitraan. Rasanya penilaian dan komentar ini tidak salah karena pemilu dalam sistem Demokrasi saat ini tidak bisa lepas dari pandangan dan perhatian para pengusaha agar menjadikan usaha mereka tetap aman di tengah kepemimpinan penguasa yang sedang berlangsung. Maka proses pemilu adalah masa dimana para pengusaha melakukan wait and see kepada para calon pemimpin. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa para pengusaha siap untuk memodali calon hingga terjamin posisinya tidak terancam. 

Hal ini sangat berbeda dengan sistem islam. Islam menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik. Sebab politik dalam islam bermakna mengurusi urusan umat. Pemilu dalam islam hanyalah cara alternatif memilih kepala negara bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam islam metode pengangkatan kepala negara (khalifah) adalah bai’at syar’i. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al Minhaj (VII/390) telah berkata “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya bai’at atau lebih tepatnya bai’at dari Ahlul Halli Wal Aqdi yang mudah untuk dikumpulkan". Sebagai sebuah cara atau uslub pemilu wajib terikat dengan nash-nash syari’ah tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Sebab masa jabatan dalam khilafah tidak ada periodeisasi, diganti hanya ketika melanggar syari’at atau berhalangan menegakkan syari’at. Rasulullah Saw. bersabda  “Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah” (HR. Muslim). 

Dalam kondisi berbeda ada cara lain untuk memilih kepala negara (Khalifah) seperti melalui Ahlul Halli Wal aqdi. Fiqih islam cukup rinci mengatur pemilihan Khalifah dan hal ini bisa dipelajari dari kitab-kitab muktabar para ulama’. Calon khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syari’at yakni harus laki-laki, muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil, dan  mampu. Tugas dan wewenang Khalifah dibatasi oleh syari’at yakni hanya untuk menerapkan hukum Allah secara kaaffah. Wajar pemilu dalam islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya cukup sederhana. Tidak perlu ada dana kampanye, pasang baliho, dana relawan, obral janji ini dan itu.  islam juga menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari, dalilnya adalah Ijma’ Shahabat dalam pengangkatan Abu Bakar ra. yang sempurna setelah 3 hari wafatnya Rasulullah saw. inilah pemilu dalam Khilafah yang mampu menghasilkan pemimpin berkualitas yakni pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah swt. dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Sudah saatnya kaum muslim berpedoman pada islam dalam seluruh perbuatannya termasuk dalam memilih pemimpin. Wallahua’lam bishowwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar