Di Negeri Kaya Raya Buruh Malah Sengsara


Oleh : Ulfah Febriani (Aktivis Dakwah Jogja)

Puncak peringatan hari buruh yang bertajuk May Day Fiesta 2022 digelar di kawasan Gelora Bung Karno pada Sabtu, 14 Mei 2022. Massa buruh yang menggelar aksi unjuk rasa dengan 18 Tuntutan, di antaranya Tolak omnibus law UU Cipta Kerja; Turunkan harga bahan pokok (minyak goreng, daging, tepung, telur, dll), BBM, dan gas; Sahkan RUU PPRT, tolak revisi UU PPP, tolak revisi UU SP/SB; Tolak upah murah; Hapus outsourcing; Tolak kenaikan PPN; Sahkan RPP Perlindungan ABK dan Buruh Migran; Tolak pengurangan peserta PBI Jaminan Kesehatan; Wujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria; Setop kriminalisasi petani; Biaya pendidikan murah dan wajib belajar 15 tahun gratis; Angkat guru dan tenaga honorer menjadi PNS; Pemberdayaan sektor informal; Ratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja; Sopir ojek online adalah pekerja, bukan mitra kerja yang tidak jelas hubungan kerjanya; Laksanakan pemilu tepat waktu 14 Februari 2024 secara jurdil dan tanpa politik uang; Redistribusi kekayaan yang adil dengan menambah program jaminan sosial (jaminan makanan, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan air bersih); dan Tidak boleh ada orang kelaparan di negeri yang kaya.

Tuntutan utama yang akan disuarakan adalah penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Said, aturan hukum tersebut mengeksploitasi buruh. "Omnibus law mengeksploitasi, membuat perbudakan zaman modern, outsourcing dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan, tidak ada batas waktu, dan upah yang murah," kata Said. 

Penolakan buruh terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat beralasan. Hal ini karena RUU tersebut merugikan dan mengeksploitasi buruh. Dengan dalih menarik investasi masuk Indonesia, buruh yang dikorbankan. Upah buruh makin ditekan dengan penghapusan upah minimum. Upah per jam juga akan menyengsarakan buruh karena nilai total per bulannya di bawah upah minimum. Padahal di masa pandemi ini kebutuhan hidup sangat besar karena harga barang naik. Jika upahnya ditekan, para buruh akan masuk ke jurang kemiskinan yang makin dalam.

Padahal buruh adalah sumber daya manusia yang punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga keluarganya. Sehingga tuntutan upah layak selalu didengungkan. Akibatnya buruh dan pengusaha ibarat dua kutub magnet yang selalu berlawanan. Buruh ingin kesejahteraan, pengusaha ingin ongkos produksi murah. Selamanya tak akan ketemu. Mirisnya, penguasa justru bertindak laksana wasit tinju. Membiarkan kedua pihak saling “gebuk” dan hanya memisahkan sesekali waktu. Negara memosisikan dirinya sebagai “pihak luar” dari konflik abadi tersebut.

Bahkan negara justru menjelma menjadi korporatokrasi yang mengabdi pada kepentingan pengusaha korporasi. Penguasa tidak lagi sekadar menjadi “wasit” tapi menjadi “wasit” yang memihak pengusaha. Akibatnya buruh makin tergencet oleh peraturan yang dibuat penguasa, atas pesanan pengusaha. 

Persoalan upah sudah seharusnya dikembalikan pada standar Islam yakni syariat. Rasulullah saw. memberikan panduan terkait upah pada hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Pekerja dan majikan harus menepati akad di antara keduanya mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan.

Islam bahkan mengatur tata cara pembayaran upah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

Besarnya upah tergantung kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau berdasar upah standar profesi tersebut. Dikisahkan, ketika Umar ra. ingin mempekerjakan seorang pemuda yang miskin, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin!” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!” Riwayat ini memberikan pengertian bahwa Umar menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah.

Pekerja diupah berdasarkan manfaat yang diberikannya. Jika upah tersebut tak mencukupi kebutuhan dasarnya, negara akan memberi santunan dari dana zakat dan lainnya di baitumal. Pengusaha juga senang hidup dalam Khilafah karena dia mendapat manfaat dari pekerja dan tidak dibebani untuk menanggung biaya hidup sang pekerja seperti pendidikan dan kesehatan. Kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara.

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar