Gencarnya Islamofobia di Negeri Mayoritas Muslim


Oleh : Saleema Dymy Destiranti

Rektor di Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, Kaltim, bernama Prof Budi Santoso Purwokartiko, membuat tulisan kontroversial. Dalam potongan layar yang tengah viral di ragam media sosial tersebut, menunjukkan sebuah tulisan status di akun Facebook-nya. Tulisan memicu kontroversi itu diposting oleh Prof Budi Santoso pada 27 April 2022 lalu. Belakangan status itu dipermasalahkan netizen, lantaran dianggap mengandung unsur SARA. Sebab guru besar dari ITK Balikpapan itu menyinggung perihal kalimat yang kerap digunakan dalam ajaran Islam seperti, InsyaAllah, Barakallah dan Qadarullah. Dalam postingan itu, Prof Budi menulis mengenai alat penutup kepala (hijab) seperti ala manusia gurun.
(FAJAR.CO.ID, 01/05/2022) 

Prof. Suteki, S.H., M.H. mengatakan, guru besar berotak kecil tampaknya akan terus ada, kemarin, kini, dan coming soon ketika tidak memiliki sense of crisis, karena sudah merasa enak di zona nyaman (comfort zone). “Jika Prof. Budi membaca UUD NKRI 1945 dan UU HAM, pasti yang keluar dari pemikiran dan perasaannya tidak mungkin mendiskreditkan salah satu suku, ras, aliran, dan agama dengan segala atribut yang dimilikinya, apakah pakaian, bendera, bahasa, dan geografinya,” terangnya. Karena hal tersebut dinilai ahli hukum dan masyarakat tersebut bertentangan dengan upaya penghapusan diskriminasi atas ras dan etnik. (TintaSiyasi.com, 11 Mei 2022).

Istilah “islamofobia” pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan Rummymade Trust Report pada 1991. Istilah ini diciptakan dalam konteks umat Islam Inggris khususnya dan Eropa umumnya, dan dirumuskan berdasarkan kerangka xenofobia (ketakutan dan kebencian terhadap orang asing) yang lebih luas.

Oleh karenanya, agama harus dijauhkan dari kehidupan politik. Pemisahan agama dari kehidupan politik pun melahirkan residu kekhawatiran yang memuncak menjadi ketakutan (fobia). Fobia ini makin besar saat Eropa dibanjiri imigran dan pengungsi dari dunia Islam. Komunitas muslim menuntut secara alami eksistensi identitas dan budaya mereka. Mereka mulai menjalankan beberapa aturan syariat dalam kehidupan. Hal ini mengusik tatanan liberal negara-negara Barat dan mendorong kuat kebencian akan Islam (islamofobia).
 
Umat Islam saat ini begitu lemah karena tidak ada lagi kepemimpinan umat yang berperan sebagai perisai (junnah) umat. Semua ini hanya bisa dihentikan ketika umat memiliki kembali junnah-nya yang akan menjaga darah dan kehormatan kaum muslimin. Oleh karena itu, kaum muslim harus menyadari hal ini  dan berusaha untuk mengembalikan junnah tersebut sebagai tuntutan keimanan. 

Kebencian terhadap Islam dan umatnya ini bukanlah hal baru. Islamofobia memiliki akar sejarah yang panjang, dan erat kaitannya dengan Perang Salib. Mereka tidak akan pernah berhenti memberikan stigma terhadap Islam dan akan terus berupaya menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Oleh sebab itu, kita perlu memahami dan menyadarkan umat akan peran Islam dalam membangun peradaban manusia. Selanjutnya umat Islam harus dikembalikan kepada pemahaman Islam yang utuh sebagai sebuah sistem kehidupan dan memperjuangkannya hingga kembali menjadi sebuah peradaban yang akan memimpin dunia.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar