Korban Begal Jadi Tersangka, Buah Hukum Sekuler


Oleh: Sulastri ( Pegiat Literasi).

Bagai buah simalakama, kasus hukum ketika menghadapi begal di negeri ini. Di lawan kita jadi tersangka, tak dilawan kita yang binasa. Kira-kira begitulah gambaran polemik yang sedang viral terjadi baru baru ini.

Kasus korban begal di Nusa Tenggara Barat (NTB) dijadikan tersangka menjadi sorotan nasional. Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turut bersuara.

Sigit ingin korban begal tersebut Murtede alias Amaq Sinta (34) mendapatkan kepastian hukum.

"Untuk memberikan kepastian hukum dengan memegang teguh asas proporsional, legalitas, akuntabilitas, dan nesesitas," kata Sigit di akun Instagram resminya seperti dilihat detikcom, Sabtu (16/4/2022).

Kasus AS, sontak memancing reaksi publik yang akhirnya berujung pada penghentian kasus tersebut. Itu pun baru dihentikan kasusnya lantaran adanya pengaruh tekanan dari media yang membuat viral berita itu, serta banyaknya masyarakat yang mengecam keputusan pihak kepolisian yang memutuskan menjadikan korban begal sebagai tekejahatan.

Padahal, kasus AS termasuk tindak pidana pembelaan terpaksa, karena dilakukan untuk membela diri dan bisa dimaafkan. Itu diatur dalam pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk menghindari salah pengertian di masyarakat terkait tindakan perlawanan terhadap kejahatan, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu menyarankan pihak kepolisian memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai penghentian kasus AS karena jika tidak, akan berpotensi menimbulkan kebingungan.

Inilah fakta yang aneh tapi nyata dan terjadi di negeri ini. Hal ini bukan hanya terjadi pertama kali ini saja, tapi sudah ada kasus serupa yang pernah terjadi di beberapa daerah. Mengapa hal tersebut sampai terjadi dan berulang ,aksi melawan begal untuk melindungi harta dan nyawanya, tapi malah dijadikan tersangka. Pada kasus AS yang sampai menghilangkan nyawa manusia, benar benar telah membuktikan lemahnya perlindungan rasa keamanan dari pihak yang berwajib kepada masyarakat. Sehingga masyarakat harus melawan sendiri tindak kejahatan.

Selain itu, muncul pula statemen dari Kapolda Lampung Irjen  Hendro Sugiatno bahwa akan memberikan penghargaan kepada warga yang bisa melumpuhkan pelaku tindak kejahatan semisal begal. Hal ini jelas akan menimbulkan kegaduhan baru di tengah masyarakat karena akan memunculkan sikap vigilantisme.

Vigilantisme dipahami sebagai situasi ketika orang-orang mengambil peran penegak hukum tanpa diberikan kewenangan legal, tanpa mempertimbangkan apakah aksinya benar-benar berbasis keadilan atau tidak. Menghukum sampai cedera parah atau bahkan mati merupakan bentuk jamak vigilantisme.

Menurutnya, penghargaan itu dapat mengartikan bahwa masyarakat diperbolehkan membawa senjata tajam dan menghabisi begal di tempat.

Banyaknya pelaku begal di negeri ini, bukan karena tanpa alasan. Bisa jadi,itu mereka lakukan karena terpaksa oleh keadaan. Sulitnya lapangan pekerjaan, mahalnya biaya hidup, serta kondisi lemahnya keimanan sangat berpengaruh pada hal tersebut. Begitu pula dengan sistem hukum yang lemah serta tidak adanya perlindungan yang maksimal dari penegak hukum membuat semakin komplit permasalahan.

Inilah fakta bobroknya sistem hari ini. Kerja aparat penegak hukum masih belum efektif menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat. Begitu pula dengan sistem sanksi bagi para pelaku kejahatan, tak dapat menimbulkan efek jera.

Dalam hukum Islam, perampokan, pembegalan, penyamunan, atau kejahatan sejenisnya dikenal dengan istilah hirabah (pelakunya disebut muharib--Red). Kejahatan berat semacam ini masuk dalam kategori tindakan fasad fil ardh (perilaku yang menimbulkan kerusakan di muka bumi).

Sanksi bagi pembunuhan yang disengaja dengan seluruh jenisnya, pembunuhnya akan dibunuh. Dalam kasus pembunuhan yang disengaja wajib dijatuhkan qishash bagi pelakunya, yaitu membunuh si pembunuhnya sebagai balasan atas perbuatannya membunuh orang dengan sengaja, jika wali orang yang dibunuh tidak memaafkannya. Apabila ada pengampunan, maka diyat-nya harus diserahkan kepada walinya, kecuali jika mereka ingin bersedekah (tidak menuntut diyat).

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.” (QS Al Isra [17]: 33).


Qishash adalah sebanding, yakni membunuh si pembunuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa yang terbunuh, maka walinya memiliki dua hak, bisa meminta tebusan (diyat), atau membunuh si pelakunya.” (Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam hlm. 129)

Dalam Islam, perampokan bukan sekadar suatu pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat. Melainkan juga merupakan suatu bentuk pernyataan perang terhadap Allah SWT dan Rasul- Nya. Itu dikarenakan para perampok menggunakan senjata dan cara-cara kekerasan terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Para perampok bahkan tidak segan-segan menghilangkan nyawa manusia yang tidak berdosa demi memenuhi nafsu angkara murkanya.

Selain sistem hukum yang dan sistem sanksi yang tegas dan jelas Islam pun memiliki sistem prefentiv guna mencegah hal hal yang mengantarkan pada kejahatan, demikian pula langkah rehabilitasi yang tepat untuk para pelaku kejahatan yg masih hidup agar tak mengulangi kejahatannya kembali. Wallahu A'lam Bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar