Akibat Kebebasan Berekspresi, Seorang Intelektual Mel3c3hkan Syariat Islam


Oleh : Widya Astika

Rektor Institut Teknologi Kalimantan atau ITK, Budi Santosa Purwokartiko, sedang menjadi sorotan akibat menyebut mahasiswi berjilbab dengan istilah manusia gurun. Ucapannya itu pun dinilai rasis karena memuat unsur SARA. (solopos.com)

Dilansir dari Fajar.co.id menurut Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi turut prihatin dengan tulisan yang dibuat Rektor ITK Balikpapan, Prof Budi Santosa Purwokartiko. Ismail menilai tulisan tersebut bisa masuk kategori rasis dan xenophobic.

“Tulisan Prof Budi Santosa Purwokartiko ini bisa masuk kategori “rasis” dan “xenophobic”. Rasis: pembedaan berdasarkan ras (manusia gurun, Arab). Xenophobic: benci pada orang asing (manusia gurun).Saya kira beliau contoh korban “firehose of kadrunisasi”.

Jangan dicontoh ya.,” tulis Ismail Fahmi melalui cuitannya di akun twitter @ismailfahmi yang dikutip fajar.co.id, Minggu (1/5/2022) Sebelumnya diberitakan, Rektor di Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, Kaltim, bernama Prof Budi Santoso Purwokartiko, membuat tulisan kontroversial.

Dalam potongan layar yang tengah viral di ragam media sosial tersebut, menunjukkan sebuah tulisan status di akun Facebook-nya.Tulisan memicu kontroversi itu diposting oleh Prof Budi Santoso pada 27 April 2022 lalu. Belakangan status itu dipermasalahkan netizen, lantaran dianggap mengandung unsur SARA.

Sebab guru besar dari ITK Balikpapan itu menyinggung perihal kalimat yang kerab digunakan dalam ajaran Islam seperti, InsyaAllah, Barakallah dan Qadarullah. Dalam postingan itu, Prof Budi menulis mengenai alat penutup kepala (hijab) seperti ala manusia gurun. Berikut status Facebook yang ditulis oleh Prof Budi Santoso Purwokartiko dengan menyebut mahasisiwa menutup kepala ala manusia gurun.

Bagaimana bisa di negeri yang mayoritasnya Islam seorang intelektual melecehkan dan menistakan syariat Islam, tentu ini membuat kaum muslimin menjadi tak ingin diam dan pasti merasa kesal, karena syariat agamanya dilecehkan. Akibat kebebasan yang kebablasan membuat para influencer, tokoh agama, Youtuber, bahkan seorang intelektual semaunya menyampaikan pendapatnya. 

Serangan kepada syariat Islam yang bertubi-tubi ini adalah refleksi dari sistem demokrasi yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang membuat para pelakunya aman, karena mereka dapat berlindung dibalik sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Mereka kaum sekuler liberal dengan terbuka menunjukkan ketidaksukaannya terhadap syariat Islam dan umat Islam. Kelancangan itu pun semakin menjadi jadi sebab penguasa membiarkan tanpa memberi sanksi tegas kepada para pelaku. Berbanding terbalik jika kaum muslimin mengeluarkan pendapat nya tentang kebenaran syariat Islam,yang mana kebenaran itu menyinggung mereka kaum sekuler liberal.

Padahal ada RUU KUHP pasal 156 (a) tentang penistaan agama yang diklaim menjaga toleransi antar beragama, nyatanya tidak cukup tegas menindak para penista dan penoda agama. RUU ini pun akan mandul jika dihadapkan dengan masalah baru.

Dan mirisnya setelah para penista agama berbuat gaduh, penyelesaiannya hanya dilakukan dengan permintaan maaf dan klarifikasi begitulah seterusnya. Dengan demikian,sederet penista agama menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa negara yang menganut sistem demokrasi tidak akan pernah menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Sebab, sistem demokrasi lahir dari pemikiran manusia yang terbatas. Sehingga gagal menjamin perlindungan beragama bagi setiap pemeluknya.

Siapa saja yang menghina agama Islam maka murtad dan kafir hukum baginya. Imam Syafi'i mengatakan "mengolok-olok Al Qur'an dengan maksud lelucon bisa dikategorikan kafir", beliau merujuk Al Qur'an surah at Taubah ayat 65.

Al Maliki menyebutkan, "siapa yang merendahkan Al Qur'an atau sejenisnya atau mengingkari satu huruf darinya atau mendustai Al Qur'an atau bahkan sampai membuktikan apa yang diingkari maka termasuk kafir menurut kesepakatan ulama ".

Dalam fatawa Al Azhar juga disebutkan "Barang siapa yang melaknat agama Islam, maka hukumnya kafir dan Murtad dari agama tanpa ada perbedaan pendapat". Hukuman bagi penista agama dalam sistem sanksi Islam (uqubat) sudah jelas termasuk dalam sanksi tazir, yang kadarnya ditentukan oleh ijtihad Qadhi (hakim).

Penentuan kadar ini disesuaikan dengan tingkat kemaksiatan yang dilakukan oleh pelaku. Namun, untuk menerapkan hukum syariat Islam tidak bisa dilakukan oleh individu ataupun kelompok , melainkan oleh negara yang menerapkan Islam kaffah. Dalam istilah fiqih disebut dengan daulah khilafah Islamiyyah. 

Dengan adanya daulah khilafah yang menerapkan sistem uqubat Islam akan menimbulkan efek jawazir ( pencegah) bagi masyarakat , serta sebagai jawabir (penebus hukuman) diakhirat untuk pelaku. Namun, perlu diketahui bahwa daulah khilafah tidak akan memberi sanksi kepada aspirasi warganya, selama aspirasi yang disampaikan diperbolehkan dalam koridor syariat.

Selain itu, Daulah Khilafah juga membentuk karakter masyarakatnya agar senantiasa melakukan amar makruf nahi Munkar, menampilkan kebaikan-kebaikan ajaran Islam, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk mereka yang tidak menyukai Islam berbuat sesuka hatinya.

Inilah solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk menindak pelaku penista agama. Untuk itu, jika umat Islam ingin agar tak ada lagi kasus demikian terulang kembali, umat Islam tidak boleh diam ,umat Islam harus membangun kesadaran berpolitik dan memahami penerapan Islam kaffah bersama dengan kelompok ideologis, mendakwahkan ajaran Islam dengan thoriqoh dakwah Rasulullah Saw.

Insyaallah , langkah ini adalah aktivitas nyata yang bisa dilakukan untuk mewujudkan daulah khilafah Sang penjaga agama Islam dan umat Islam itu sendiri. Wallahu'alam bissowab...



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar