Bahaya Khilafah Mengancam Negeri, Benarkah?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Rupa-rupanya wacana “Khilafah” memang sedang trend dan terus digoreng dengan berbagai bumbu kekhawatiran hingga menghasilkan cita rasa yang mencemaskan mengalahkan wacana kenaikan minyak goreng, berhentinya bantuan sembako, kasus LGBT, dll. Benarkah sebahaya itu?

Tidak bisa dipungkiri adanya konvoi Khilafah baru-baru ini berhasil membuat goncangan yang luar biasa terutama di dalam istana hingga harus mengerahkan segenap aparat dan melibatkan seluruh elemen pejabat, baik pusat maupun daerah. Tidak terkecuali Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahkan sampai mengeluarkan pernyataan akan berkomitmen untuk senantiasa menggunakan Pancasila & UUD 1945 sebagai pegangan. Wajar saja hal itu dilakukan mengingat belum lama MUI sempat tercoreng sebab adanya dugaan terorisme di dalam tubuh MUI menyusul penangkapan salah satu anggotanya.

Di Jawa Barat sendiri, Sekretaris MUI Jabar, Rafani Achyar mengungkapkan adanya ajakan konvoi rombongan motor “Kebangkitan Khilafah” melalui selebaran yang disebarkan di wilayah Cimahi, Sukabumi, dan Cianjur oleh kelompok yang menamakan diri Khilafatul Muslimin. Dari selebaran yang dibagikan, pihaknya mendapatkan informasi terkait kegiatan konvoi dilakukan sejak 2016 silam dan kelompok tersebut berpusat di Bandar Lampung. (cnnindonesia.com, 02/06/2022).

Sebelumnya, konvoi rombongan motor dengan membawa sebuah tulisan ‘Kebangkitan Khilafah’ sempat terekam di daerah Cawang, Jakarta Timur, Minggu (29/05/2022). Peristiwa tersebut terekam dalam sebuah video dan beredar di media sosial. Dalam video itu terlihat salah satu tulisan yang dibawa oleh rombongan adalah ‘sambut kebangkitan khilafah Islamiyah’.

Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang mengaku dirinya mengusung ‘kebangkitan Khilafah Islamiyah’ sehingga bahayanya melebihi KKB Papua yang nyata-nyata kerap melakukan aksi brutal dengan membunuh TNI, tenaga medis, bahkan masyarakat pendatang demi mencapai keinginan mereka untuk memisahkan diri dari NKRI?

Apakah dalam aksi konvoi tersebut terjadi makar atau keributan seperti halnya tawuran dengan membawa senjata tajam sehingga aparat harus bertindak tegas? Apa pula dasar penangkapan petinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja oleh polisi di wilayah Lampung? Apakah beliau pengedar narkoba, pelaku zina, koruptor, atau pengeruk alam Indonesia? Ataukah beliaulah yang menaikkan pajak, yang menyebabkan harga-harga tinggi, utang negara meroket, sehingga mengakibatkan kemiskinan?

Tentu kita juga masih ingat, saat bendera LGBT dikibarkan di kedutaan Inggris dan itu dibiarkan, juga aksi para pengusungnya yang menggelar berbagai acara meski berkedok ritual keagamaan, dengan alasan menghargai kebebasan berekspresi. Lalu kenapa konvoi membawa bendera dan poster dakwah dianggap kriminal?

Sebegitu  menakutkankah “monster Khilafah”? Baru menghadapi konvoi khilafatul muslimin saja sudah dijadikan alasan penguasa untuk membuat aturan lebih keras terhadapnya atas nama perang melawan radikalisme. Apalagi kalau Khilafah yang sesuai dengan risalah Rasulullah Saw. Benar-benar terbentuk dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Karena sesungguhnya Khilafah tidak mungkin akan terbentuk di dalam negara yang menerapkan sistem ideologi selain Islam, mau itu Kapitalis ataupun sosialis. Apalagi ketika diterapkannya hanya oleh satu golongan dalam negara demokrasi yang katanya mengagungkan HAM dan menjunjung kebebasan.

Namun anehnya HAM dan kebebasan tersebut tidak berlaku ketika umat muslim ingin menjalankan syariat sesuai ajaran agamanya. Sementara di saat yang sama negara demokrasi malah membiarkan promosi massif terhadap ajaran sekuler yang merusak (LGBT, Liberalisme) maupun praktik korup rezim. Bahkan hal ini menjadi momentum mereka untuk menghalangi pemuda muslim mengenal utuh ajaran agamanya sendiri, karena monsterisasi terhadapnya dilakukan seiring penderasan arus kapitalisasi potensi pemuda. Dengan dalih untuk menyelamatkan generasi, pemuda muslim dijadikan amunisi untuk menyerang Islam. Pemuda dibuat sibuk dengan materi kampus pencetak buruh kaum kapitalis, bukan pencetak pemimpin peradaban. Berbagai kesenangan ditawarkan mulai dari fun, food, fashion, film, free sex, and sing. Hanya satu yang tidak boleh, yaitu menerapkan Islam secara kaffah karena itu dianggap sebagai radikalisme.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai ungkapan para tokoh penting, di antaranya ada akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Weda Kupita yang menilai perlu adanya  lembaga internal untuk menengarai merebaknya paham-paham radikalisme, intoleran, dan terorisme di lingkungan kampus guna menjadikan perguruan tinggi sebagai rumah yang nyaman untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran. (merdeka.com, 05/06/2022).

Sekarang benang kusutnya mulai terurai, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas semakin jelas. Jadi yang dimaksud radikalisme dan terorisme di negeri ini adalah yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa serta mengusik singgasana demokrasi-kapitalis. Seperti halnya firaun yang begitu ketakutan dengan hasil ramalan penyihir yang mengatakan bahwa dia akan digulingkan oleh anak keturunan bani israil yang mengakibatkan dia mengeluarkan aturan yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak masuk akal, karena ketakutannya tersebut maka setiap bayi laki-laki yang lahir dari keturunan bani israil harus dibunuh. Entah berapa puluh bahkan ratus bayi laki-laki yang telah dibunuh hingga negaranya kekurangan laki-laki dan itu sempat terpikirkan oleh penasehat kerajaan hingga akhirnya peraturan firaun diperlonggar, yaitu selang setahun bayi laki-laki dari bani israil dibunuh kemudian setahun berikutnya dibiarkan demikian seterusnya. Mirip peraturan ganjil genap di Indonesia ketika menyelesaikan kemacetan. Ya itulah ciri hukum buatan manusia. Penilaian baik dan buruknya dilihat dari kacamata manusia lemah yang haus kekuasaan dan kebebasan, bukan berdasarkan aturan si pembuat manusia. Siapa pembuat manusia? Dialah Allah SWT.

Jika saja mereka berpikir cemerlang dibarengi dengan hati yang tulus, maka akan terlihat kebenarannya. Sesungguhnya bendera tauhid yang bertuliskan lafadz “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” bukanlah bendera teroris yang dapat merusak bangsa, melainkan bendera Rasulullah Saw. Dan umat Islam. Label itu semata-mata menunjukkan masih kuatnya islamofobia alias kebencian terhadap ajaran Islam. Adapun Khilafah, dia adalah sistem pemerintahan Islam yang dipraktikan oleh negara yang menganut ideologi Islam. Sejarah mencatat bahwa di negara Khilafah penduduknya tidak harus semua muslim. Khilafah juga sama seperti negeri lain, dimana penduduknya beragam. Bahkan bagi non muslim, Khilafah bisa menjadi rumah dan tempat berlindung yang aman tanpa diskriminasi karena ajaran Islam melarang menganiaya non muslim tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Itulah sebabnya Khilafah mampu menyatukan dua pertiga dunia selama lebih dari 13 abad.

Sebagai muslim kita harus sadar bahwa saat ini kita tengah diadu domba antarumat Islam melalui prinsip penjajahan devide et impera atau farriq tasud (pecah belah, lalu kuasai). Kita harus senantiasa waspada terhadap penjajah asing dan kaki tangannya yang sedang melemahkan umat Islam di Indonesia. Mereka tidak mau Indonesia menjadi negara besar, apalagi super power. Indonesia tetap dijadikannya sebagai negara boneka dengan julukan tetap sebagai negara berkembang yang tidak pernah berbuah, karena sesungguhnya buah dari negara ini telah diangkut ke negeri penjajah. 

Maka dari itu mari kita jalin persatuan dan kesatuan demi meraih ridha Allah SWT. Jadikanlah Allah SWT sebagai standar dalam menilai kebenaran dan keburukan. Jangan sampai kita memakai kacamata musuh Allah SWT yang secara nyata mereka tidak menginginkan kebangkitan bagi umat Islam. 
Wallahu’alam bishshawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar