Endemi di Depan Mata, Siapkah Indonesia?


Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md. (Member Corak Karya)

Sungguh disayangkan, pemerintah terlalu membebaskan secara kebijakan. Sehingga sekarang ini jika dilihat mulai dari jalanan, orang berangkat dan pulang dari perkantoran, pemukiman, tempat-tempat fasilitas pelayanan publik, tempat rekreasi, kuliner, dan tempat lainnya hampir semua masyarakat cenderung mengabaikan protokol kesehatan, seperti tidak mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, padahal kasus Covid-19 masih mengalami kenaikan.

Dilansir Okezone.com (3/6/2022), isu pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 1 di seluruh Indonesia, menarik perhatian publik. Sebab melihat adanya pelonggaran, diartikan sudah bisa atau tidak perlu adanya PPKM. Masyarakat beranggapan sudah siap beralih ke fase endemi.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan penjelasan bahwa negara tidak bisa memutuskan sendiri, terkait peralihan fase dari pandemi ke endemi. Menurutnya, keputusan harus bersama organisasi kesehatan dunia (WHO). Namun, secara pribadi, Budi mengaku tidak masalah adanya PPKM level 1, karena masih bisa beraktivitas dengan baik. Menurutnya, peralihan ke endemi adalah terciptanya pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menangani atau bisa mencegah penularan Covid-19.

Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro juga menegaskan bahwa wewenang yang mengubah status endemi ialah organisasi kesehatan dunia (WHO). Dengan melihat beberapa indikator yang wajib dipenuhi untuk sebuah negara masuk fase endemi.

Sementara, data per 15 Juni 2022 menunjukkan kasus konfirmasi harian Covid-19 di tanah air terus meningkat, hingga menembus angka 1.242, menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, yang sebelumnya tercatat 930. Total kasus konfirmasi sampai saat ini mencapai 6.063.251.

Menurut Kemenkes, indikator transisi dari pandemi menuju ke arah endemi adalah, laju penularan harus kurang dari 1, angka positivity rate harus kurang dari 5.%, tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5%, angka fatality rate harus kurang dari 3%, level PPKM berada pada transmisi lokal level tingkat 1. Kondisi-kondisi tersebut harus terjadi dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan. Pemerintah diminta untuk tidak gegabah dalam menentukan apakah Indonesia akan memasuki fase endemi Covid-19 selepas evaluasi pada Agustus mendatang.

Inilah karakter kepemimpinan sistem kapitalisme sekularisme. Orientasi ekonomi menjadi dasar kebijakan, keselamatan dan kesehatan nyawa manusia menjadi kelas nomor dua. Publik bisa menilai bagaimana penanganan Covid-19 selama ini. Ketika kasus semakin meningkat dan korban berjatuhan, penguasa justru kalang kabut. Tidak diantisipasi dari awal ketika virus itu masuk ke Indonesia. Akibatnya, kebijakan pembatasan sosial yang terlambat menyebabkan krisis multidimensi, baik di sektor kesehatan, pendidikan, maupun sosial. Tidak sedikit dari tenaga kesehatan yang akhirnya gugur. Kelaparan di mana-mana. PHK masal banyak terjadi. Pekerja harian kehilangan mata pencaharian mereka. Pelajar, guru, dan orang tua stres karena pembelajaran daring. Ribuan pasien isoman meninggal. Di sisi lain, penguasa kapitalis masih tega memanipulasi data, agar kasus terlihat seolah-olah turun. Mereka pun tega mengkorupsi dana bantuan sosial Covid-19. Bahkan mereka berbisnis vaksin, test antigen maupun PCR di tengah kesengsaraan rakyat. Miris. 

Bisa jadi, kebijakan pelonggaran ini ada kaitannya dengan produksi 500 juta vaksin yang saat ini masuk uji klinis tiga. Ketika pelonggaran diberlakukan, maka kasus infeksi akan meningkat. Masyarakat kembali terpuruk di bidang ekonomi. Hal ini hanya menambah kesengsaraan masyarakat.

Sangat berbeda jauh dengan kepemimpinan penguasa dalam sistem Islam. Orientasi kebijakan khilafah adalah hifdz an nas (menjaga jiwa manusia).

Ketika penyakit mewabah ditemukan di suatu daerah, khilafah tidak akan salah ambil kebijakan. Khilafah akan me-lockdown total area tersebut dari sejak awal. Kebijakan ini akan membuat daerah lainnya tidak tertular, dan bisa melanjutkan kehidupan normal mereka sebagaimana biasanya.

Rasulullah saw. bersabda, "Jika kamu mendengar ada wabah penyakit terjadi di suatu negeri, maka janganlah kamu memasuki negeri tersebut. Namun, jika wabah penyakit itu di negeri yang kamu diami, maka janganlah kamu keluar dari negeri tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).

Khilafah akan melakukan testing, tracking dan treatment kepada penduduk setempat. Kemudian akan mengobati yang sakit hingga sembuh dengan kualitas pengobatan terbaik secara gratis. Khilafah akan mewajibkan protokol kesehatan bagi orang yang sehat. Menjamin kebutuhan masyarakat yang isoman. Khilafah juga akan meminta para medis, ahli vaksin, ahli biologi molekuler, virolog, dan para ahli terkait, untuk menemukan obat yang efektif untuk pengobatan. Telah terbukti pada masa kejayaan Islam, dalam kepemimpinan khilafah, pandemi tidak akan berlarut-larut seperti saat ini dan cepat penanganannya.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar