KENAIKAN TDL 3000 VA, LAYAKKAH DIANGGAP BERBAGI BERBAGI BEBAN KESULITAN PEMERINTAH?


Oleh : Ropi Marlina, SE., M.E.Sy (Dosen Ekonomi Perguruan Tinggi Swasta)

Indonesia terkenal dengan zamrud khatulistiwa karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah, mulai dari pertanian, perikanan, kelautan, mineral, sampai memiliki sumber daya energi yang sangat besar. Salah satunya energi listrik yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat dalam penerangan. Namun, masyarakat belum sepenuhnya menikmati sumber energi listrik dengan harga yang murah atau terjangkau, karena hampir setiap tahunnya tarif dasar listrik kerap kali mengalami kenaikan. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui kenaikan tarif listrik pelanggan dengan daya 3.000 VA ke atas. Dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Minggu (22/5). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa "Presiden dan kabinet sudah menyetujui untuk berbagi beban, kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas,"

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid, kebijakan tersebut sudah tepat. Tauhid menilai kebijakan tersebut tidak akan menyebabkan pelanggan PLN dengan daya 3.000 VA bermigrasi alias melakukan turun daya listrik. Namun menurut Ekonom yang juga Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kenaikan tarif dasar listrik untuk golongan 3.000 volt ampere (VA) ke atas akan menyebabkan inflasi ke depan. Menurut dia, masyarakat miskin akan menerima dampak tidak langsung dari kenaikan tarif listrik tersebut. "Kenaikan tetap mendorong kenaikan inflasi yang pada akhirnya akan berdampak terhadap masyarakat miskin," ujar Ekonom Piter Abdullah, Minggu (22/5).

Pemerintah beralasan kenaikan TDL untuk kelompok menengah ini bentuk berbagi beban atas kesulitan pemerintah. Pemerintah mengklaim selama ini PLN mengalami kerugian sebesar Rp. 71,1 Triliun  sebagai imbas dari belum naiknya tarif listrik di tengah lonjakan harga komoditas batu bara. Dalam Rapat Kerja dengan Banggar DPR RI, Kamis (19/502022). 
Faktanya, kenaikan ini memang akan menambah sedikit pemasukan negara namun tetap akan berdampak inflasi yg menyusahkan rakyat kelas bawah. Ditengah kesulitan ekonomi, penganngguran, dan naiknya harga kebutuhan pokok masyarakat, rakyat harus menerima pil pahit dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik. Sungguh kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Sepatutnya Pemerintah memilih kebijakan yg tidak memberatkan masyarakat kelas menengah dan menyengsarakan kelas bawah. 

Kondisi ini terjadi karena Kesalahan pengelolaan kekayaan alam dan energi yang ada di Indonesia dimana pengelolaanya memilih sistem kapitalisme dan sistem pemerintahan demokrasi. Pemerintahan demokrasi di masa orde baru dan era reformasi telah menjual kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing, melalui berbagai produk Undang-undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal Asing dan sebagainya. Semua undang-undang ini memberi peranan besar kepada swasta dan kapitalisme asing, disahkan oleh DPR tanpa ada upaya pencegahan sedikitpun. Semua ini berasas pada kepercayaan para penguasa dan pejabat di Indonesia kepada sistem ekonomi liberalisme dan mekanisme pasar. Ditambah lagi dengan mental korup dimana mereka yang hanya berfikir untuk kepentingan dirinya saja.

Masih ada alternatif lain untuk bisa mengelola sumber daya energi ini tanpa harus menaikan tarif dasar listrik. Islam memiliki sekumpulan sistem yang mampu mengubah paradigma dan sistem pengelolaan sumber daya energi. Dalam Islam Sumber daya energi yang sifatnya merupakan kepemilikan umum maka pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah tidak boleh diseerahkan kepada swasta apalagi Asing. Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw.: ‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)

Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk. Untuk pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal yang menceritakan, saat itu Abyad meminta kepada Rasul Saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.

Sikap pertama Rasulullah Saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul Saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—lalu Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batubara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.

Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan: “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”. Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau migas pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Dengan pengembalian kepemilikan tambang-tambang energi potensial ini kepada negara, maka penyelenggaraan kegiatan energi dalam negeri pasti dapat tercukupi, sehingga tidak akan terjadi lagi kenaikan tarif listrik dan berbagai sumber energi lainnya di negeri ini. Sudah saatnya negeri ini meninggalakan demokrasi dan menjadikan setiap permasalahan dan solusinya dengan menerapkan syariah Islam secara Kaffah. Wallahu’alam bishshawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar