Oleh : Siami Rohmah (Pegiat Literasi)
Sah, akhirnya pada Selasa, 24 Mei 2022, DPR telah menyelesaikan revisi RUU PPP (Revisi Undang - Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pengesahan ini menjadi landasan hukum UU Omnibus Law Cipta Kerja. Merespon RUU PPP ini, Said Iqbal bersama tiga juta pekerja mengancam akan mogok kerja selama tiga hari. Iqbal menyatakan, "DPR bersama pemerintah melakukan revisi UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa disahkan." (CNN Indonesia)
Konsep Omnibus Law ini sudah diterapkan dinegeri asal kapitalisme, Amerika dan Kanada sejak 80-an. Dan di Asia Tenggara di Filipina dan Vietnam. Untuk Indonesia Omnibus Law menggabungkan 79 UU. Konsep Undang-undang ini begitu jelas memenuhi kepentingan pengusaha, berkolaborasi dengan penguasa dan penegak hukum.
Sebagaimana diketahui bersama, sebelumnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR, diputuskan inkonstitusional oleh MK (Mahkamah Konstitusi), karena tidak sesuai dengan UU 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. MK menyatakan Undang-undang ini masih berlaku sampai pemerintah dan DPR melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun. Keputusan MK ini juga yang akhirnya menimbulkan pro kontra. Di satu sisi menyatakan inkonstitusional tapi di sisi lain menyatakan masih berlaku, aneh dan tidak jelas.
Undang-undang Cipta Kerja menjadi angin segar kepada para pengusaha dengan pasal-pasalnya, seperti terkait upah minimum kabupaten sebagai dasar upah pekerja, peningkatan waktu lembur, pengurangan nilai pesangon, ketentuan cuti, kontrak seumur hidup, dan pasal- pasal lain yang dianggap mengabaikan hak pekerja.
Sesungguhnya ketika kita mau obyektif melihat kegaduhan dengan disahkannya UU Cipta Kerja, hingga berbuntut pada RUU PPP ini akan semakin tampak bagaimana wajah demokrasi. Demokrasi yang sebenarnya tidak pernah memihak rakyat, tetapi korporasi. Jika demokrasi ini memihak rakyat seperti slogan yng dibawa,dari,oleh dan untuk rakyat tentu tidak akan ada pengesahan undang-undang ini, karena rakyat menjerit tidak setuju. Tapi yang yang terjadi adalah suara pilu mereka hanya dianggap angin lalu. DPR hanya bermanis muka kepada rakyat ketika suara rakyat ingin didapat saar pemilu.
Kemudian dari sisi penegak hukumnya juga tidak bisa dijadikan harapan untuk membela hak rakyat. Ketika sudah jelas UU itu cacat hukum dan tidak memihak rakyat bukan dibatalkan tapi masih tetap diberlakukan dan diberi kesempatan untuk perbaikan. Seolah urusan rakyat seperti percobaan. Presiden, menyatakan, "Saya pastikan kepada para pelaku usaha dan para investor dari dalam dan luar negeri, bahwa investasi yang telah dilakukan serta investasi yang sedang dan akan berproses tetap aman dan terjamin." Pertanyaannya kemudian, negeri ini memang berjalan untuk siapa? Bukankah negeri ini berjalan untuk kepentingan rakyat, kenapa para pengusaha yang menjadi raja?
Semakin jelaslah sifat asli dari kapitalisme yang sedang dijalankan negeri ini, kapitalisme yang hanya mementingkan untung rugi dengan menggunakan slogan demokrasi untuk menutupi wajah asli, yaitu keserakahan akan dunia dengan menggunakan segala cara. Jadi stop berharap pada sistem buatan manusia.
Jika dalam kapitalisme negara hanya sebagai regulator kepentingan untuk para kapitalis sehingga kesejahteraan rakyat bukan prioritas, kesejahteraan hanya milik segelintir orang, utamanya pemilik modal. Berbeda dengan Islam, agama yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta manusia.
Dalam Islam, negara adalah pelayan rakyat yang menerapkan hukum - hukum Allah dengan standar halal haram. Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan) serta menjamin kesejahteraan, keamanan dan penghidupan mereka. Aturan yang diterapkan sesuai dengan syariat bukan karangan apalagi sarat dengan kepentingan.
Islam juga tidak menetapkan upah minimum, karena pekerja diupah berdasar tenaga yang dikeluarkan. Sehingga adil antara upah dan pekerjaan. Tidak ada celah untuk dorongan kepentingan para pemilik uang dan kekuasaan. Dalam Islam tidak ada bisa membatalkan hukum syari'at, namun tanggungjawabnya hingga di akhirat, inilah jaminan kepastian sistem Islam, yaitu Khilafah, yang insyaAllah bisa mengantarkan rakyat pada kesejahteraan dunia dan akhirat.
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al Anfal : 24 ). Wallahualam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar