Restoratife Justice, Lemahnya Hukum Buatan Manusia


Oleh: Saleema Dymy Destiranti

Menyikapi pernyataan tertulis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana yang menyebut sampai dengan awal Mei 2022 Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1070 perkara tindak pidana yang sifatnya ringan dengan menggunakan pendekatan restorative justice, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative, mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat. Beliau mengatakan, dengan penerapan ini diharapkan dapat membantu pemerintah mengurangi residivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antarakorban, dan pelaku di masyarakat. (detikNews.com, 23/05/ 2022).

Menurut Fadil, dalam menggunakan pendekatan restoratif justice ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan. Pertama, keadilan restoratif mesti memperkuat kohesi sosial antar anggota masyarakat. Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan, bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan perilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabilitir dirinya.

Tingginya kasus tindak kejahatan sebuah fenomena dalam alam kapitalistis. Kehidupan yang kapitalistis-materialistis dan ketidakhadiran negara dalam menyelesaikan problem ekonomi dan sosial masyarakat, menambah beban permasalahan yang terjadi dan memperumit masalah yang sebenarnya sederhana jika diselesaikan dengan tepat dan segera. 

Jika pembahasan sistem hukum sekuler masih berkutat pada aspek hak asasi manusia, sesungguhnya sistem hukum Islam memberikan kehidupan dan memberi jaminan hidup bagi umat manusia. Adapun Kejahatan/jarimah adalah segala perbuatan yang melanggar aturan Allah SWT. baik yang berhubungan dengan Allah SWT., diri sendiri maupun manusia yang lain. 

Adapun hukum dalam Islam adalah sebagai berikut. 
I. Hukum Uqubat Pemidanaan Kejahatan/jarimah  segala perbuatan yang melanggar aturan Allah SWT. baik yang berhubungan dengan Allah SWT., diri sendiri maupun manusia yang lain yang bertujuan mencegah manusia dari tindak kejahatan.
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan dalam qisas itu ada jaminan kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

2. Hudûd yaitu sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariat dan menjadi hak Allah, dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang di dalamnya terdapat hak Allah. 
Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:     
(1) zina (pelaku dirajam jika muhshan/telah menikah atau cambuk 100 kali jika ghayr muhshan/belum menikah);
(2) homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);
(3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);
(4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
(5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
(6) membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas, dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta, dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh, dibuang jika hanya meresahkan masyarakat;
(7) memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan;
(8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syarat untuk dipotong).

3. Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah.
(1) Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;
(2) Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan. 
Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

4. Ta’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw. 
Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: 
(1) pelanggaran terhadap kehormatan;
(2) pelanggaran terhadap kemuliaan;
(3) perbuatan yang merusak akal;
(4) pelanggaran terhadap harta;
(5) gangguan keamanan;
(6) subversi;
(7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama. Sanksi ta‘zîr dapat berupa;
(1) hukuman mati;
(2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali;
(3) penjara;
(4) pengasingan;
(5) pemboikotan;
(6) dsb. 

Untuk kejahatan yang termasuk hudud tidak ada pengampunan secara mutlak. Ini didasarkan pada banyaknya hadis yang berbicara tentang masalah ini. Sedangkan dalam masalah jinâyât, hak pengampunan (pemaafan) hanya berada di tangan korban atau ahli waris korban, tidak di tangan hakim ataupun Khalifah. Pengampunan dalam masalah jinâyât telah disebutkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 178; QS asy-Syura:40). Adapun ta‘zîr, penetapan sanksinya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi (sebagai wakil Khalifah). Khalifah berhak (bukan wajib) memberikan sanksi ataupun pengampunan. Adapun mukhâlafât sama seperti ta‘zîr dalam hal pemaafan. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Demikian seharusnya peran negara sebagai junnah  (Perisai) dan Pengayom (Ra’in) Negara Islam Memastikan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan hidup rakyat dan Melindungi dari segala yang merusak dan membahayakan. 
Wallahu a’lam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar