SUARA MIKROFON DIMATIKAN, TANDA DEMOKRASI MATI DALAM MENYUARAKAN KEBENARAN


Oleh : Ade Rosanah

Perilaku tak bijak kembali diperlihatkan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Pasalnya, di saat memimpin sidang rapat Paripurna pada selasa 24 Mei 2022 Puan mematikan mikrofon salah satu anggota Dewan Fraksi PKS Amin AK yang sedang melakukan interupsi. Bahkan tak hanya sekali itu saja melakukan hal yang sama. Pada tahun 2020 pun Puan mematikan mikrofon kala memimpin rapat Paripurna pengesahan UU Cipta Kerja. 

Kali ini Puan mematikan mikrofon ketika Amin AK melakukan interupsi mengenai persoalan kekosongan hukum yang melarang hubungan seks bebas dan seks menyimpang. Amin meminta agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang ketentuan tindak pidana kesusilaan secara lengkap direvisi. Namun belum juga Amin menyelesaikan yang interupsinya, mikropon dimatikan oleh Puan dengan alasan waktu rapat telah melampaui batas yang ditentukan (TRIBUN-TIMUR.COM, 25/5/22).

Tindakan kontroversi Puan Maharani tersebut nyatanya mendapat sorotan publik. Sebab sudah tiga kali ia mematikan mikrofon anggota Dewan selama memimpin sidang Paripurna DPR RI. Karir politik Puan sendiri tidak lepas dari nama besar keluarganya. Puan merupakan cucu dari Presiden pertama RI Soekarno. Beliau juga merupakan anak dari Megawati Soekarno Putri yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), (Menit.co.id, 26/5/2022).

Kita mengetahui betul ketika ada orang yang tengah berbicara menggunakan pengeras suara merupakan cara efektif agar suara terdengar oleh orang lain. Namun kemudian tiba-tiba seseorang mematikan pengeras suara tersebut, apakah itu bukan merupakan tindakan yang tidak sopan? 

Jelas, hal ini merupakan tindakan yang tidak menyenangkan dan tidak beradab. Apalagi itu dilakukan dalam rapat yang membahas tentang hajat publik. Terkesan jika apa yang diinterupsikan tidak perlu untuk didengarkan. Sekalipun itu mengenai persoalan serius mengenai L96T yang tengah ramai dan marak diperbincangkan di negeri ini.

Meski Puan sendiri sebagai pemimpin rapat yang menguasai forum namun tak elok untuk melakukan hal itu. Tidak boleh melakukan sesuatu sesuai keinginannya tanpa mempertimbangkan interupsi yang disampaikan peserta rapat. Mestinya Puan bersikap bijak dengan segala yang terjadi di ruang sidang. Secara langsung ia sudah mencederai hak berpendapat sesorang. Sedangkan negeri ini penganut sistem demokrasi yang menjungjung tinggi kebebasan, salah satunya kebebasan berpendapat. Mengemukakan pendapat menjadi bagian dari aktivitas demokrasi. Apalagi ketika ada yang menyuarakan kebenaran mestinya tidak boleh dibungkam.

Sayangnya, demokrasi hari ini lebih cenderung membiarkan orang-orang menyuarakan kebenciannya terhadap satu kelompok agama, khususnya Islam. Mirisnya memberi peluang mempromosikan kemaksiatan seperti perilaku L96T. Perilaku menyimpang ini seolah mendapat ruang bebas di negeri ini. 

Maka, wajar jika Amin AK mempersoalkan tidak adanya aturan mengenai larangan perilaku seks bebas dan menyimpang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di negeri ini. Sebab saat ini diperlukan pembahasan mengenai hal tersebut. Harus ada tindakan hukum yang menjerat perilaku seks bebas dan menyimpang agar perilaku ini tidak menjadi fenomena gunung es yang suatu saat bisa mencair berdampak merusak moral generasi.

Tampaknya pembahasan mengenai maraknya L96T dianggap sepele oleh negara. Sehingga menyuarakan keresahan tentang perilaku L96T pun tidak diapresiasi, yang justru mendapat perlakuan acuh dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Bagaimana jadinya jika negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak peduli dengan nasib bangsanya sendiri? Pasti akan terjadi kekacauan akibat tumpulnya peran negara dalam mengurusi seluruh permasalahan rakyatnya. 

Apalagi jika kepemimpinan diserahkan kepada seorang wanita. Seperti dalam sistem demokrasi, perempuan diberikan kesempatan seluas-seluasnya menjadi pemimpin sebuah negara. Alhasil seperti saat ini kita saksikan, perasaan lebih berperan dominan dibandingkan logika dalam mengambil suatu keputusan.

Sikap otoriter yang diperlihatkan Puan sejatinya biasa terjadi di sistem sekuler saat ini. Sistem yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Apalagi didukung oleh sistem kapitalisme segala sesuatunya didasari atas asas manfaat. Menjadi celah bagi penguasa untuk memanfaatkan watak kapitalismenya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Para pejabat yang lahir dari sistem demokrasi sekuler tidak mencerminkan perilaku orang-orang beriman. Di sangka-sangka mereka akan melayani pemenuhan rakyat, sebaliknya justru mereka hanya mempertahankan eksistensinya saja.

Jika dalam menyuarakan kebenaran merupakan hak asasi untuk berpendapat sudah dibungkam, berarti tanda sistem demokrasi telah mati. Menjadikan wakil rakyatnya antikritikan. Berbeda dengan wakil rakyat dalam Islam. Wakil rakyat dalam Islam dikenal dengan istilah majelis Umat. Tugas majelis umat adalah ketika penguasa berbuat kezaliman, maka mereka akan memuhasabahi penguasanya. Sebab mereka mengetahui betul model pemerintahan yang dipraktikan dan dirasakan rakyat. Karena bagaimanapun juga majelis umat hidup bersama rakyat.

Para anggota majelis umat sendiri benar-benar merupakan perwakilan dari rakyat. Maka kritikan mereka terhadap penguasa merupakan cerminan suara rakyat. Mereka bukan pegawai pemerintahan serta tidak memiliki anggaran. Maka posisi majelis umat tidak bisa dimanfaatkan untuk bagi-bagi proyek. Mereka dapat mpermainkan anggaran. Mereka mendapat keistimewaan serta bertindak ilegal lainnya. Tugas mereka hanya memberi masukan kepada khalifah agar tetap berjalan di atas koridor syariah.

Mereka memiliki pijakan yang sama dengan pemerintahan Khilafah yakni menegakan hukum syariah dan merealisasikan kemaslahatan bagi umat. Berbeda dengan sistem saat ini wakil rakyat bersama pemerintah menegakan hukum yang bukan berasal dari Illahi, tetapi hukum yang berasal dari jenisnya sendiri (manusia). Sistem yang memberikan hak kepada manusia untuk membuat aturan. Maka wajar saja banyak terjadi penyimpangan dalam menjalankan tampuk kekuasaannya. Karena tidak bisa dipungkiri manusia memiliki hawa nafsu dan manusia cenderung mengikutinya jika tidak dibarengi dengan sebuah keterikatan perbuatan kepada hukum syara.

Adapun ketika kezaliman penguasa tidak bisa dihentikan dengan muhasabah dari majelis umat. Maka langkah selanjutnya akan diserahkan kepada Mahkamah Mazhalim yang berwenang guna mengadili dan memberikan sanksi tegas kepada penguasa zalim. Maka sungguh berbeda sekali antara sistem pemerintah khilafah dengan sistem pemerintah demokrasi. Dalam praktiknya sistem khilafah mewujudkan keadilan dengan menjadikan syariat Islam sebagai pemegang kedaulatan. Dengan hukum syariat pulalah seluruh problematika manusia mampu diselesaikan secara tuntas sampai ke akarnya.

Wallahu'alam...




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar