DILEMA RUU KIA: MEMBELA ATAU MENDISKRIMINASI KAUM IBU?


Oleh : Dianing Tyastuti (Pegiat Literasi)

Pemerintah dan DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). RUU KIA dibuat untuk menjamin kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi setiap warga negara, termasuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang anak.

Salah satu isi dalam RUU KIA adalah ibu melahirkan bisa mendapat cuti paling sedikit 6 bulan. Dalam RUU KIA, selama cuti hamil pekerja tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sebagai pekerja

Anggota DPR dari Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah menjelaskan salah satu alasan kenapa cuti melahirkan itu penting, karena ada fenomena perempuan depresi pasca melahirkan. Kasus-kasus inilah yang perlu diantisipasi. 

Ketua DRP RI Puan Maharani menilai RUU KIA menitik beratkan pada masa keemas an anak atau golden age yang merupakan periode krusial pada tumbuh kembang anak yang kerap dikaitkan dengan 1.000 hari pertama kehidupan sebagai penentu masa depan anak. Puan menegaskan ibu wajib mendapatkan waktu yang cukup untuk memberikan ASI bagi anak-anak nya, termasuk bagi ibu yang bekerja. Puan juga mendukung ketentuan cuti melahirkan selama 6 bulan yang digodok RUU KIA.

Sekalipun RUU KIA ini diklaim akan memberikan perlindungan pada perempuan khususnya yang baru melahirkan, nyatanya muncul kekhawatiran dari masyarakat yakni akan ada diskriminasi terhadap pekerja atau pencari kerja perempuan dengan adanya ketentuan cuti melahirkan 6 bulan dalam RUU KIA. Seperti komentar di akun tiktok @dprri “Nanti pengusaha gak mau rekrut karyawan perempuan, atau syarat rekrut untuk wanita harus belum menikah, atau tidak menikah selama terikat masa kerja”

“Agak kontra, kalau aku mikirnya perusahaan jadi agak mikir kalau mau terima karyawan cewek. Normal yo 3 atau 4 bulan saja. Kadang aja ada kantor yang ga rela karyawanya cuti sampai 3 bulan. Apalagi 6 bulan???, tulis warganet di twitter menuliskan keresahan yang sama.

Wajar saja jika dilema ini muncul dari Sebagian besar perempuan, terlebih lagi jika perempuan tersebut memang bekerja karena ikut menjadi tulang punggung keluarga. Sebab idiologi kapitalisme yang menjad idiologi system saat ini gagal menjamin kesejahteraan perempuan. Dan pangkal dari kegagalan ini tak lain disebabkan karena idiologi kapitalisme mengukur kesuksesan perempuan dengan capaian materi dan posisi public. Ukuranya angka belaka seperti samanya jumlah gaji dengan laki-laki, jumlah perwakilan perempuan dilembaga politik, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, jumlah intelektual perempuan, angka partisipasi kerja, jumlah perempuan prestatif dibidang profesional, dan sejenisnya. 

Sementara tolak ukur spiritual dan dan tugas utamanya sebagai umm wa rabbatul bait (ibu rumah tangga) sama sekali tidak dimasukkan dalam parameter keberhasilan tersebut. Karena perempuan tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga dianggap tidak berdaya guna dan tidak produktif, apalagi jika perempuan tersebut hidup dalam himpitan ekonomi keluarga. Maka tawaran bekerja adalah solusi realistis untuk menghadapi persoalan tersebut. Dengan bekerja, perempuan dikatakan berdaya dan terhindar dari diskriminasi sebagaimana yang digaungkan aktifis gander. Disisilain, idiologi kapitalisme juga tidak bisa menghilangkan kodrat seorang perempuan yang harus melahirkan dan mengurus anak maupun keluarga. Sehingga Ketika karyawan perempuan terlalu lama mengambil cuti, maka industri jelas merasa dirugikan. Terus terang kami dunia usaha belum diajak bicara. Mestinya FGD (focus group discussion) dulu, dibicarakan dulu. Jangan sampai meledak gitu aja, jadi gaduh, bola liar, investasi kurang nyaman, Kita mau lepas dari pandemi tiba-tiba ada seperti ini lagi, kan nggak elegan. Dampaknya akan sangat negatif," kata Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Apindo DKI Jakarta Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Senin (20/6/22). (www.cnbc.com, 20/6/2022).

Oleh karena itu wajar jika para perempuan merasa khawatir dengan kebijakan RUU KIA mereka justru akan kehilangan kesempatan bekerja sebagaimana kaum laki-laki. Sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka. 

Dilema ini sebenarnya tidak akan menjadi sebuah masalah ketika kehidupan manusia diatur oleh sistem yang shohih yaitu system Islam yang disebut Khilafah. Posisi pria dan wanita dalam Islam akan dipandang sama sebagai seorang hamba, contohnya mereka diwajibkan untuk melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji, maupun dakwah. Namun, Islam tidak mensejajarkan lelaki dan perempuan sebgaimana penjelasan syeh Taqiyuddin an nabhani dalam kitabnya Nidzomul al ijtima’I bab kedudukan wanita dan Pria. Bahwa Islam menetapkan berbagai hak, kewajiban dan taklif Syariah berbeda antara pria dan wanita. Penetapan tersebut logis untuk difahami. Sebab pada realitasnya Allah SWT. memang menciptakan pria dan wanita dengan karakter dan predikatnya masing-masing. Seperti kewajiban bekerja yang dibebankan pada laki-laki dengan karakter dan predikatnya sebagai seorang laki-laki maka syara’, menetapkan kewajiban mencari nafkah ada di pundak laki-laki. Disinilah peran Khilafah untuk memastikan setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara ma’ruf. Sedangkan untuk perempuan dengan karakter dan predikatnya sebagai seorang perempuan syariat menetapkan kewajiban dan tugas mulia mereka adalah menjadi umm warobbatul bait yakni ibu rumah tangga. Keberhasilan mereka diukur dari mereka mampu mendidik anak-anak mereka menjadi pejuang Islam. Tugas ini amat berat, maka syariat tidak menambah beban mereka dengan kewajiban mencari nafkah. Dalam Islam, nafkah perempuan ditanggung walinya. Disisilain, Islam pun memberi hak kepada wanita terlibat dalam aktifitas ekonomi, perdagangan, industry, pertanian, dan melakukan berbagai transaksi didalamnya. Ia boleh memiliki dan mengembangkan harta. Oleh karena itu hukum wanita bekerja adalah mubah (boleh). Dan dalam praktiknya, dalam peradapan Islam para Muslimah yang bekerja bukan karena himpitan ekonomi dan berjuang untuk mendapatkan kesetaraan. Mereka bekerja untuk mengamalkan ilmu mereka. Dalam khilafah, para perempuan akan di tempatkan bekerja sesuai dengan feminitasnya, seperti seorang guru, dokter, perawat, dan sejenisnya. Khilafah akan melarang pekerjaan yang akan merendahkan martabat perempuan dan mengeksploitasi tubuh mereka, seperti model, SPG, dan sebagainya. Khilafah juga kan mengatur jam kerja untuk para perempuan agar tidak sampai melalaikan kewajiban mereka sebagai umm waroabatul bait. Sehingga di masa melahirkan ataupun menyusui tidak akan menjadi masalah. Ketika mereka mengajukan cuti mereka tidak akan terbebani ekonomi mereka akan terganggu, sebab beban ekonomi mereka ditanggung oleh walinya.

Dengan Kembali pada aturan sistem Islam saja fitrah sebagai wanita akan bisa dijalankan sebagaimana mestinya tanpa membuat wanita depresi dan terbebani.
Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar