Oleh : Ekha Putri Minangsih Subara
Hari ini umat kembali dihadapkan dengan adanya perbedaan penentuan Idul Adha. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam sejarah Islam. Sebelum memulai pembahasan tentang perbedaan jatuhnya hari raya Idul Adha, alangkah baiknya kita membahas terlebih dahulu tentang bagaimana fiqih Islam itu bisa berbeda.
Berbeda dengan masalah keimanan yang harus bersifat pasti dan tidak boleh berbeda, dalam Islam pemahaman hukum-hukum dan tasyri’-nya bisa berbeda. Hal ini disebabkan karena iman dalam Islam ditetapkan melalui akal kemudian diyakini oleh hati. Oleh karena itu, tidak boleh dimasuki keraguan sedikitpun. Adapun pemahaman hukum-hukum Islam tidak bergantung kepada akal saja. Justru ia banyak bergantung pada pengetahuan bahasa Arab, adanya kekuatan istinbath dan pengetahuan hadits-hadits yang shahih dan yang dha’if.
Oleh karena itu, dalam perkara tasyri' atau hukum islam (termasuk fiqih) prinsip yang harus dipegang adalah pemahaman saya sebagai pemahaman yang tepat namun mengandung kemungkinan keliru (fahmu shawâb yahtamilu al-khatha‘) dan menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman yang kurang tepat namun mengandung kemungkinan tepat (fahmu al-khatha‘ yahtamilu ash-shawâb). Disinilah butuh kedewasaan dan kematangan pemikiran dalam menyikapi berbagai permasalahan fiqih. Tidak tepat bila perbedaan pendapat menjadi bahan olok olok atau caci maki terhadap saudara muslim yang lain. Sebagaimana yang pernah terjadi kepada para sahabat yang berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِيْ قُرَيْظَة
“Janganlah seseorang melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian dari mereka tetap menjalankan shalat Ashar pada waktunya, meskipun belum sampai di pemukiman Bani Quraidhah. Kelompok ini memaknai hadits di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju pemukiman Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan untuk melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Sementara sebagian yang lain baru menjalankan shalat Ashar setelah sampai di pemukiman Bani Quraidhah sesuai makna harfiah hadits. Perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau tidak mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Artinya, Rasul membenarkan kedua pendapat tersebut.
Dalam hal ini, saya ingin menggambarkan beberapa poin yang menjadikan suatu objek fiqih bisa berbeda.
1. Adanya perbedaan dalam memahami teks.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228, Allah subhanahu wata‘ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa iddah perempuan yang dicerai suaminya, dan masih dalam usia menstruasi adalah tiga quru’. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna quru’. Aisyah, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit mengartikannya suci, sedangkan Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, dan mayoritas sahabat mengartikannya haid. Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad – dalam satu riwayat – memilih pendapat pertama, yaitu quru’ berarti suci. Sedangkan Abu Hanifah memilih pendapat kedua, yaitu quru’ bermakna haid.
2. Adanya pertentangan makna dalil :
Hadits pertama adalah hadits riwayat Basrah binti Shafwan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّي حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka dia tidak boleh melakukan shalat sampai dia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Sedangkan hadits kedua adalah hadits riwayat Thalq bin Ali:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ: هَلْ هُوَ إِلَّا بِضْعَةٌ مِنْكَ
“Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hukum laki-laki yang menyentuh kemaluannya saat sedang shalat, lalu beliau menjawab: Bukankah ia hanya bagian dari tubuhmu.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’i).
Ulama mazhab Syafi’i, Hambali dan Maliki memilih hadits pertama, sehingga mereka menyatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpegangan pada hadits kedua dan menegaskan ketidakbatalan wudhu karena menyentuh kemaluan.
Masih banyak hal yang bisa menimbulkan perbedaan memahami makna hadits. Penjelasan lebih luasnya dituangkan dalam ilmu Ushul Fiqih.
Menelaah Pembahasan Perbedaan Jatuhnya Hari Raya Idul Adha.
Dalam Islam, perbedaan penentuan Idul Adha adalah wilayah khilafiyyah (dibolehkan untuk berbeda pendapat). Hampir seluruh imam madzhab berpegang pada dalil : Husain bin Al-Harits berkata: Sesungguhnya Amir Makkah pernah berkhutbah dan menyampaikan, ‘’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.’’ (HR. Abu Dawud No. 2338)
Namun diantara ulama ada perbedaan pendapat, apakah hadits tersebut menjadi standar penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri atau hanya terkait pelaksanaan ibadah haji. Perlu dipahami terlebih dahulu tentang adanya perbedaan pendapat dalam masalah rukyat ini. Mayoritas Ulama diantaranya Imam Malik, Abu hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad Abu Thayyib, Asy Syaukani dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa rukyat bersifat global. Maksudnya adalah dimanapun nampak hilal maka berlaku untuk semua tempat. Adapun untuk pengikut madzhab Syafii berpendapat bahwa rukyat bersifat lokal, diantaranya ditentukan keberlakuannya dengan jarak qoshor atau ada juga yang menggunakan perhitungan 24 farsakh (+/- 133 km) . Jadi, antara Semarang dan Jakarta bisa berbeda bila berpendapat bahwa rukyat bersifat lokal.
Dari pendapat para ulama tersebut, sebenarnya tidak ada yang berpendapat bahwa batasan keberlakuan hilal itu berdasarkan wilayatul hukmi (nation state) seperti yang bisa terjadi beberapa waktu ini . Faktanya, antara Nunukan (Indonesia) dan Sabah (Malaysia) dapat dipastikan sama ketika melihat hilal, namun kadang berbeda dalam menetapkan hari rayanya. Padahal, wilayah Nunukan dan Sabah berada pada satu hamparan daratan kepulauan. Bahkan, diantara penduduknya ada yang mempunyai rumah bagian ruang tamu termasuk wilayah Indonesia dan bagian dapur termasuk wilayah Malaysia. Sehingga dapat dipastikan bahwa mereka melihat bulan yang sama.
Terkhusus masalah penentuan awal Dzulhijjah, ada perbedaan pendapat tentang hadits putusan rukyat Amir Makkah. Sebagian ulama menjadikan dalil tersebut sebagai penentu untuk masalah pelaksanaan ibadah haji saja, sedangkan Ulama lain menjadikan hadits tersebut bukan hanya untuk masalah pelaksanaan Ibadah haji saja namun juga sebagai standar penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri (rukyat global). Karena bagaimanapun orang-orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji akan terkait juga. Misalnya dalam pelaksanaan ibadah Shaum Arafah.
Lalu Bagaimana kita menyikapi perbedaan ini ? Dalam Islam terdapat kaidah bahwa, "pendapat mujtahid bagi muqallid adalah hukum syara baginya". Berhubung tidak semua orang mampu menggali hukum maka di dalam Islam ada yang disebut Mujtahid dan ada yang disebut muqallid. Adapun Mujtahid yaitu orang yang dengan kapasitas tertentu (memenuhi syarat sebagai Mujtahid diantaranya Hapal Al qur’an, hadits-hadits shohih, memahami bahasa Arab, memahami permasalahan yang digali dll) dia menggali hukum sampai pada kesimpulan hukum tertentu. Adapun yang belum pada kapasitas Mujtahid dia akan menjadi muqallid atau yang bertaqlid. Disini bukan sembarang ikut ikutan, tapi secara syar’I mampu memahami mujtahid yang menggali hukum tersebut melakukan tahapan syar’I dalam pengambilan hukum bukan berdasarkan hawa nafsu. Maka, seorang Muqallid akan memilih pendapat dari mujtahid /ulama mujtahid yang dia cenderung kepada kekuatan hujjahnya. Bukan karena figuritas semata.
Bila melihat berbagai pendapat ulama, jumhur ulama menyatakan rukyat berlaku global dan juga menjadi standar penentuan jatuhnya hari raya Idul Adha di seluruh tempat. Apalagi hadits dari Wali Mekkah menunjukkan bahwa dia memiliki kewenangan dari Rasul untuk menetapkan jatuhnya hari raya Idul Adha berdasarkan dari informasi rukyat global. Hal ini selain merujuk kepada dalil syara , pendapatnya lebih dekat dengan fakta astronomis. Disamping itu, kesatuan waktu Idul Adha yang dikaitkan dengan pelaksanaan Ibadah Haji akan menjadi moment persatuan kaum muslimin layaknya yang terjadi di Padang Arafah, ketika semua jamaah yang melaksanakan ibadah haji berkumpul dan bersatu tanpa melihat latar belakang Negara, ras, warna kulit, dll. Namun adanya pendapat lain yang memenuhi proses syar'i dalam pengambilannya perlu dihormati sebagai pendapat yang islami. Hanya saja, sudah selayaknya sikap individu memilih satu pendapat karena tentu tidak mungkin untuk beramal dengan dua pendapat sekaligus. Wallahu 'alam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar