Salah Kaprah PEP Solusi Ubah Nasib


Oleh : Rasmini (IRT)

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mendorong 1.500 ibu keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) untuk berani mengubah nasib lewat berwirausaha.

Program PE ini digagas oleh Mensos Risma saat masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya pada 2010. Dalam program tersebut, para ibu rumah tangga dari keluarga kurang mampu diberi modal mengembangkan UMKM melalui pelatihan dan pendampingan. Hal ini disampaikan dalam acara Sosialisasi Penguatan Perekonomian Subsisten sebagai Upaya Perekenomian Masyarakat di Pendopo Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (25/6/2022).

Kegiatan tersebut digelar untuk mendorong kemandirian finansial dan meningkatkan kesejahteraan KPM/ PKH secara bertahap. Mereka diharapkan dapat segera lulus dari program PKH dalam waktu enam bulan ke depan.

Demi mendukung tujuan tersebut, Risma menerangkan bahwa Kemensos akan bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang untuk menyelenggarakan program pemberdayaan sosial. Adapun program itu bakal menyasar sebanyak 2.500 penerima bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Malang, Kota Batu, dan Kota Malang.

Program Pemberdayaan Perempuan (PEP) dianggap menjadi solusi untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan jalan keluar dari kebuntuan masalah ekonomi. Apakah betul jika perempuan berdaya, taraf ekonomi rakyat akan naik dan rakyat akan sejahtera?


Kesalahan Besar Solusi Ubah Nasib ala Kapitalisme

Kapitalisme adalah ideologi yang menjadikan harta (uang) dan takhta (kekuasaan) sebagai tujuan tertinggi. Siapa yang menguasai modal dan sumber daya, ialah yang berkuasa, sebagaimana hukum rimba. 

Ukuran kesejahteraan rakyat dalam konsep kapitalisme adalah dengan menghitung rerata pendapatan rakyat secara general, bukan person to person. Inilah yang kemudian menjadi masalah besar. Ada orang yang yang sangat kaya, ada orang yang sangat miskin. Pada faktanya, jumlah orang miskin jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang kaya. Kesenjangan ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme adalah sebuah keniscayaan.

Ketika pengangguran merajalela dan ekonomi terpuruk, kapitalisme menawarkan agar para perempuan turut berpartisipasi mengatasi keadaan. Perempuan didorong untuk terjun ke sektor ekonomi menjadi pelaku ekonomi. Dimunculkanlah program-program, seperti UMKM, PEP, dsb. yang intinya perempuan dianggap sebagai satu jalan keluar untuk mengatasi masalah ekonomi yang ada saat ini. Padahal, sumber masalahnya bukan itu. Solusi pelibatan perempuan ini malah menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sosial.

Sumber masalahnya karena kapitalisme membiarkan individu masyarakat menguasai SDA strategis, seperti pertambangan yang seharusnya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ditambah lagi kemiskinan menjadi problem yang dihadapi perempuan disepanjang sejarah kapitalisme, dampak dari pandemi covid-19 yang telah melanda mengakibatkan PHK para kepala keluarga serta meningkatnya angka perceraian. 

Sehingga, menyebabkan para perempuan didorong untuk terjun ke berbagai sektor ekonomi, menjadikan mereka sebagai mesin penggerak ekonomi rakyat. Efek dominonya terhadap kehidupan sosial sangatlah banyak. Salah satunya terjadi masalah keluarga, seperti perselingkuhan dan perceraian sebab peran utama perempuan dalam keluarga menjadi terganggu. 

Solusi “ubah nasib” ala kapitalisme justru menciptakan banyak masalah. Apalagi di kalangan perempuan berembus opini bahwa perempuan itu harus mandiri, harus punya uang sendiri, dan tidak bergantung kepada laki-laki. Status ibu rumah tangga pun dianggap sebelah mata dan dinilai menambah jumlah pengangguran.Pada akhirnya, para perempuan harus memainkan peran ganda di sektor domestik dan publik yang kerap mengalami dilema. Sukses di sektor publik, tetapi tidak sedikit keluarga hancur. Penyebabnya bukan hanya masalah teknis, seperti kurang cakapnya ibu mengatur keluarga, melainkan terlebih karena kesalahan paradigma berpikir tentang keluarga. Dalam kondisi dilema ini, disematkan label “Pahlawan Ekonomi” bagi perempuan. Kondisi ini sejatinya sangat menyedihkan.


Islam dan Pemberdayaan Perempuan

Sistem ekonomi kapitalisme menciptakan kemiskinan struktural di tengah masyarakat. Kapitalisme juga memaksa perempuan terjun ke dunia kerja tanpa disertai kecakapan teknis manajemen rumah tangga yang baik, serta tanpa pemahaman yang benar tentang pentingnya keutuhan dan ketahanan keluarga. 

Akhirnya, peran utama perempuan sebagai ummum wa rabbatul bait menjadi terabaikan. Hal inilah yang Barat inginkan, yaitu hancurnya tatanan keluarga muslim.
Islam memandang laki-laki dan perempuan itu sama mulianya. Islam tidak mendiskriminasi perempuan. Allah Swt. memberikan kewajiban yang sama kepada keduanya untuk beribadah dan meninggikan agama-Nya.

Pemberdayaan perempuan dalam perspektif Islam dimaknai sebagai upaya mencerdaskan muslimah agar mampu berperan optimal dalam menjalankan seluruh kewajiban dari Allah Swt., baik di ranah domestik maupun publik.

Dalam Islam, perempuan disebut berdaya jika ia mampu menjalankan peran sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) dengan optimal dan sesuai syariat Islam; sebagai mitra laki-laki untuk melahirkan generasi cerdas, bertakwa, menjadi pejuang agama Islam yang terdepan.

Jadi, salah besar jika pemberdayaan perempuan diarahkan agar mandiri secara ekonomi, bahkan menjadikan fungsi perempuan di keluarga dan rumah tangga bergeser dari yang seharusnya. Apalagi dengan PEP yang diarahkan agar perempuan tidak lagi bergantung kepada laki-laki dalam hal nafkah, bahkan menjadi perempuan “kepala keluarga” atau tulang punggung keluarga, tentu akan makin menjauhkannya dari fitrahnya sebagai perempuan.

Pemberdayaan perempuan tidak boleh keluar dari tujuan menjaga dan mengukuhkan ketahanan keluarga muslim. Muslimah berperan besar melahirkan generasi berkualitas pejuang dan senantiasa beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Semuanya harus tetap dilakukan dalam koridor syariat Islam.


Nafkah dalam Islam 

Jika syariat setelah menentukan sasaran dari harta yang dikelola dan tidak menyerahkannya kepada pandangan dan ijtihad khalifah, maka harta tersebut bukan milik negara, melainkan semata-mata milik orang yang telah ditentukan oleh syariat. 

Khalifah mengupayakan agar setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya. Para perempuan tidak harus menjadi tulang punggung keluarga dan meninggalkan fitrahnya dalam kehidupan rumah tangga.

Kewajiban nafkah dalam Islam tetap ada di tangan suami. Seorang suami yang baik dan beriman kepada Allah Swt. akan bersungguh-sungguh bekerja untuk menafkahi keluarganya. Islam membolehkan istri bekerja di luar rumah, tetap harus tetap memegang syariat, seperti menutup aurat secara sempurna dan menjaga interaksi (pergaulan) di tengah masyarakat.

Adapun jika istri mendapatkan penghasilan dari bekerja, itu adalah hartanya dan tidak ada kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga. Jika istri memberi uang kepada keluarga atau menggunakan uang penghasilannya untuk keluarga, hal itu dinilai sedekah baginya.

Seorang perempuan juga dimuliakan dengan adanya wali yang menafkahinya dan keluarganya hingga ia menikah. Negara memenuhi kebutuhan individu rakyatnya (secara tidak langsung) dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jika kemudian tidak ada satu pun keluarganya yang mampu menafkahi, negara akan hadir untuk memenuhi kebutuhan individu rakyatnya dengan memberikan bantuan langsung, seperti pemberian, subsidi, dan sejenisnya. Demikianlah penafkahan dalam sistem Islam.

Sungguh, sistem ekonomi Islam memudahkan umat Islam dan nonmuslim melaksanakan aktivitas sesuai aturan Allah Swt. berdasarkan hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah agar hidup manusia lebih tertata dan berkah. Ini hanya bisa terwujud dalam sistem kehidupan Islam kafah di bawah naungan Khilafah. Wallahualam.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar