Oleh : Lismawarni
Viralnya seruan untuk berhenti membayar pajak adalah cermin kondisi masyarakat yang terbebani dengan pungutan ini. Kondisi ekonomi masyarakat sudah berat sejak dihajar pandemi. Belum juga pulih, kini harga bahan pokok melejit, beratnya beban membuat rakyat kian menjerit.
Ditambah lagi, pada April lalu, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%. Meski tidak berlaku untuk semua komoditas, nyatanya kenaikan PPN mengerek harga berbagai barang.
Artinya lagi, pengeluaran rakyat bertambah, sedangkan gaji “segitu-segitu” saja. Dengan kondisi demikian, wajar jika seruan untuk berhenti membayar pajak bergaung di dunia maya. Ditambah banyak kasus korupsi yang terjadi sehingga membuat rakyat makin skeptis terhadap penggunaan dana pajak.
Sayangnya, gaung seruan #StopBayarPajak tidak berlangsung lama. Suaranya kini tidak lagi terdengar sebab pemerintah telah menegaskan bahwa pajak wajib dibayar rakyat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, “Mereka yang menyampaikan hashtag enggak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus, itu saja.” (Kontan, 19/07/2022).
Demikianlah kekuatan sistem. Ketika sistem sudah mewajibkan sesuatu, rakyat terpaksa taat. Begitu juga ketika sistem mewajibkan pajak, rakyat pun tidak bisa menolak. Meski berat dan mencekik, rakyat terpaksa bayar juga. Jika mangkir, sanksi siap menanti.
NIK sebagai NPWP?
Kini, pemerintah getol menggenjot pemasukan pajak. Salah satu strateginya adalah memperluas basis pajak. Pemerintah telah meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebijakan ini berlaku mulai 14/07/2022 dan berlaku penuh pada 01/01/2024.
Pemerintah memang menyatakan bahwa tidak semua orang yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak, melainkan hanya yang memiliki penghasilan di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak). Namun, dengan kebijakan ini, tampak jelas bahwa strategi sapu bersih tengah dilakukan. Tidak ada celah bagi rakyat untuk tidak dipajaki. Bahkan, mak-mak berdaster yang banyak menjadi penjual olshop (toko daring) pun bisa “tersapu” kebijakan ini.
Inilah yang terjadi ketika negara menganut sistem ekonomi kapitalisme. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Di sisi lain, kekayaan alam yang Allah Swt. berikan secara gratis untuk dinikmati umat, justru banyak diserahkan ke asing dengan nilai yang sangat murah.
Memang, cara paling mudah untuk mendapatkan pemasukan negara adalah dengan pajak. Tinggal memungut saja dari rakyat. Rakyat pun tidak bisa berkutik karena aturan mengikat secara ketat. Jika menolak, tinggal kenakan sanksi. Rakyat pun serba salah. Bayar pajak bikin kantong kempes, tidak bayar pajak akan dihukum. Ibarat buah simalakama.
Sekali lagi, pajak memang instrumen paling mudah sebagai penerimaan negara. Berbeda dengan pengelolaan kekayaan alam, pemerintah harus berpikir dan berusaha keras untuk mengeksploitasi dari perut bumi, lantas mengolahnya hingga menjadi produk jadi.
Mengurusi tambang dari hulu ke hilir tentu bukan perkara mudah. Oleh karenanya, pemerintah mengambil “jalan ninja”, yakni menggenjot pajak. Mudah, cepat, dan pasti jumlahnya.
Dalam kapitalisme, pajak berlaku selamanya, alias permanen. Selamanya rakyat akan dipajaki, bahkan subjek dan objek pajak akan terus diperluas hingga tidak ada satu celah pun yang lolos dari pajak.
Kalau begini, kejadian yang dialami Chris tadi bukan tidak mungkin terjadi di sini, yaitu ketika pajak bisa langsung dipotong (didebit) dari rekening wajib pajak. Rakyat benar-benar tidak bisa berkelit dari pajak.
Meski seseorang sedang tertimpa musibah, sedang bangkrut, ia dan keluarganya sedang sakit, maupun beraneka kondisi lainnya, tidak ada jalan lain, pajak tetap harus dibayar. Benar-benar zalim! Ironisnya, begitulah konsep pajak dalam kapitalisme yang jelas berbeda secara tegas dengan konsep Islam.
Untuk kemajuan Indonesia sendiri bukan lah dari pajak, tetapi dari pemimpin yang bertaqwa, yang amanah, jujur dan adil.
Hanya Dapat Diwujudkan dengan Sistem Islam.
Dengan islam pendidikan, kesehatan, pekerjaan diperhatikan oleh pemerintah bahkan kita tidak perlu repot2 untuk membayar pajak ini dan pajak itu.
Apa tidak menyusahkan namanya, jika semua2 kena pajak dan ditujukan kepada rakyat. Ini tentu sudah jatuh kepada zholim namanya.
Bagaimana bisa sistem islam diwujudkan, dizaman sekarang ini? Nah jawabnya ada pada diri kita sendiri, sudahkah kita membenahi diri kita, menguatkan keimanan kita.
Karena pemimpin itu adalah cerminan rakyatnya sendiri. Maka dari itu, marilah kita benahi diri kita dengan islam dan sadarkan masyarakat bahwa islam lah satu-satunya solusi dalam kehidupan
Khilafah menyejahterakan, sedangkan kapitalisme justru mencekik rakyat dengan pajak. Semestinya ini menjadi penguat kita untuk memenuhi seruan agar hidup dengan aturan-Nya.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anfal: 24,
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُوا اسْتَجِÙŠْبُÙˆْا Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِ ÙˆَÙ„ِلرَّسُÙˆْÙ„ِ اِØ°َا دَعَاكُÙ…ْ Ù„ِÙ…َا ÙŠُØْÙŠِÙŠْÙƒُÙ…ْۚ ÙˆَاعْÙ„َÙ…ُÙˆْٓا اَÙ†َّ اللّٰÙ‡َ ÙŠَØُÙˆْÙ„ُ بَÙŠْÙ†َ الْÙ…َرْØ¡ِ ÙˆَÙ‚َÙ„ْبِÙ‡ٖ ÙˆَاَÙ†َّÙ‡ٗٓ اِÙ„َÙŠْÙ‡ِ تُØْØ´َرُÙˆْÙ†
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Wallahualam...
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar