BBM Naik, Salah Siapa?


Oleh : Nida Fitri Y. A. 

Lagi-lagi rakyat dibuat terkejut dengan keputusan pemerintah untuk menaikan BBM ditengah-tengah ekonomi yang masih belum pulih. Rakyat yang masih merangkak dalam memulihkan perekonomian yang anjlok akibat pandemi Covid-19 yang lalu harus mengalami krisis lagi. Tak hanya itu, pemerintah juga tak tanggung-tanggung menaikkan 3 jenis BBM. 

Pemerintah menaikan 3 jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yakni Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Pertamax Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter dan untuk Solar Rp dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. (merdeka.com, 04/09/2022).

Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM tentu sangat zalim. Rakyatlah yang menjadi korban. Mereka adalah kalangan menengah kebawah yang jumlahnya ratusan juta orang. Terutama para pengguna kendaraan roda dua seperti ojek online, juga angkutan umum dan angkutan niaga. 

Keputusan menaikan harga BBM dikeluarkan oleh pemerintah disaat rakyat masih belum benar-benar pulih. Mereka masih terpuruk secara ekonomi akibat pandemi covid-19 selama kurang lebih dua tahun kebelakang. 

Harga BBM di luar negeri justru sedang anjlok. Oleh karena itu banyak negara yang ramai-ramai menurunkan harga BBM untuk rakyatnya. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM pada saat di banyak negara lain harga BBM diturunkan tentu sangatlah aneh. 

Kenaikan BBM dipastikan memicu peningkatan biaya hidup masyarakat juga. Harga-harga kebutuhan pokok pasti naik. Dikarenakan biaya tranportasi juga otomatis naik. Akibatnya, beban operasional seluruh kegiatan ekonomi masyarakat juga dipastikan naik. 

Selanjutnya, di tengah kehidupan rakyat yang serba sulit, pemerintah tetap bersikukuh melanjutkan proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Bandung-Jakarta.  Sesungguhnya itu bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan oligarki. Demikian pula proyek sejumlah infrastruktur lainnya yang menghabiskan anggaran ratusan triliun rupiah. 

Kompensasi dalam bentuk BLT BBM yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat sangatlah kecil. Hanya 600.000/KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Itupun hanya akan diterima oleh sekitar 20 juta orang. Tentu ini tidak sebanding dengan uang yang disedot oleh pemerintah dari masyarakat yang terpaksa membeli BBM dengan harga mahal. 

Pemerintah juga seperti tidak pernah serius bahkan seolah tidak berniat sama sekali untuk melakukan efisiensi anggaran. Belum lagi kebocoran anggaran akibat korupsi para pejabat negara yang makin masif. 

Dalam pandangan Islam, BBM dan energi lainnya hakikatnya adalah milik rakyat. BBM dan segala sumber daya alam yang melimpah adalah milik rakyat bukan pemerintah. Pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut. 

Hasilnya, tentu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat. Diantaranya dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya. Negara tidak berhak berdagang kepada rakyat dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Apalagi dengan memperdagangkan barang-barang yang sejatinya milik rakyat seperti BBM, listrik, gas, dll. 

Berdasarkan ketentuan syariat Islam, BBM, energi, dan sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini didasarkan pada sejumlah hadis. Diantaranya riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda,
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
“Kaum nuslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram.” (HR Ibn Majah dan Ath-Thabarani).

Berdasarkan hadist diatas, ketiga jenis sumber daya alam ini adalah milik umum. Hanya saja, statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yakni sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum (As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 67).

Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum,

كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ اْلجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً
“Setiap benda/barang (sumber daya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum.” (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, 3/466).

Dengan demikian tak hanya air, api, dan padang rumput. Semua sumber daya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201).

Berdasarkan kaidah ini, semua yang terkategori barang yang dibutuhkan publik (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. Tidak hanya air, padang rumput, dan api. Di dalamnya termasuk BBM, energi, dan yang lainnya.

BBM dan energi lainnya (yang jumlahnya melimpah) sebagai milik umum juga termasuk ke dalam bahasan hadis tentang barang tambang dari riwayat Abyadh bin Hammal ra.,
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
Dari Abyad bin Hammal : Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Beliau pun memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hadis ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Tuhfah al-Ahwadzi, 4/9).

Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwaal, hlm. 54-56).

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi juga berlaku untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Artinya, semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) haram dimiliki oleh individu (privatisasi), termasuk swasta apalagi asing.

Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Qudamah, “Barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua riwayat. Yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).

Imam/Khalifah (penguasa dalam sistem pemerintahan Islam) harus memberikan akses atas milik-milik umum ini kepada semua rakyatnya, baik miskin atau kaya (Muqaddimah ad-Dustuur, hlm 365). Oleh karena itu, klaim pemerintah bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran karena dinikmati oleh orang kaya adalah alasan yang bertentangan dengan ketentuan syariat. Karena baik miskin ataupun kaya, keduanya berhak mendapatkan yang sama untuk menikmati semua sumber daya alam milik umum (yang menguasai hajat hidup orang banyak). 

Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga murah yang hasilnya akan dikembalikan lagi kepada rakyat. Ini karena negara hanya berperan untuk mewakili umat dalam mengelola barang tersebut. 

Di sistem sekarang yang menggunakan sistem kapitalis jelas saja yang dilihat hanyalah keuntungan dan manfaat untuk pihak yang bermodal, tidak memikirkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat. 

Inilah diantara alasan yang rasional mengapa negeri ini harus diatur berdasarkan syariat Islam di bawah naungan khilafah islamiyyah yang akan mendatangkan keberkahan dan kesejahteraan. Pertanyaanya, apakah kita hanya akan diam saja untuk menonton ataukah ikut berjuang untuk menegakkan aturan Allah? 

Wallahu'alam bishshawwab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar