Oleh : Lutfiatul Ba’diyah
Indonesia sering mengalami kekeringan. Kekeringan adalah salah satu bencana yang ditandai dengan keadaan kurangnya pasokan air pada suatu wilayah dalam jangka waktu berkepanjangan (berbulan-bulan atau bertahun-tahun). Kekurangan pasokan air dalam jangka waktu yang lama akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Meskipun Indonesia termasuk salah satu negara dengan sumber daya air yang melimpah dengan menyimpan 6% potensi air di dunia, hal itu tidak menjadikan bencana ini akan terselesaikan dengan mudah.
Dikutip dari lombokpost.jawapos.com, Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB per 16 Agustus bencana kekeringan telah melanda 74 kecamatan di delapan kabupaten/kota. Menimpa 157.826 kepala keluarga atau 570.464 jiwa yang tersebut di 296 kelurahan maupun desa di NTB (Nusa Tenggara Barat).
Kekeringan ini tidak hanya terjadi di Indoesia, tetapi di Negara lain juga mengalami hal yang sama. Selain akibat perubahan iklim, kekeringan juga terjadi akibat tidak tepatnya pelaksanaan sistem di suatu negara. Sistem sekuler-kapitalis semakin membuat bumi menderita kerusakan yang sangat parah. Bagaimana tidak, penerapan sistem sekuler-kapitalis ini berfokus pada keuntungan yang akan didapat tanpa memikirkan kebijakan tepat untuk menyelesaikan masalah. Hal inilah yang terjadi saat ini.
Penyebab kekeringan semakin meluas diakibatkan banyaknya pengalihan fungsi lahan terbuka hijau menjadi bangunan tempat tinggal dan gedung-gedung tinggi. Kondisi ini memengaruhi kondisi cadangan air di tanah. Dengan minimnya serapan air, berarti cadangan air dalam tanah sangat sedikit. Itulah yang akan memicu kekeringan.
Kondisi diperparah dengan konsep liberalisasi SDA sistem ekonomi kapitalisme. Yakni, sumber daya air legal dikelola oleh pihak lain/swasta. Hasilnya, terjadi eksploitasi mata air oleh pebisnis air minuman kemasan. Kondisi ini mengakibatkan puluhan juta jiwa tidak mendapatkan akses air bersih yang sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, siapa yang punya uang lebih akan mendapatkan lebih banyak. Yang tidak? Ya seadanya.
Kasus bencana kekeringan yang berujung krisis air bersih hanya dapat terselesaikan dengan sistem yang tepat yaitu sistem kehidupan Islam/Khilafah Islamiyah. Dalam mengatasi masalah ini, khilafah menggunakan prinsip-prinsip yang sahih, antara lain :
Pertama, SDA hutan, sumber mata air, sungai, danau, dan lautan secara umum melekat sebagai harta milik umum. Negara tak berwenang memberikan hak konsesi atau pemanfaatan secara isitimewa dan atau khusus terhadap SDA tersebut. Individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya dan sama rata. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api” (HR.Abu Dawud dan Ahmad).
Kedua, Negara wajib hadir secara benar. Negara hadir sebagai pihak yang diamanahi oleh Allah SWT yaitu bertanggung jawab langsung dan sepenuhya terhadap pengelolaan harta milik umum. Negara juga harus memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi. Mengonsolidasikan para pakar terkait berbagai upaya tersebut, seperti pakar ekologi, pakar hidrologi, pakar teknik kimia, teknik industri dan ahli kesehatan lingkungan. Sehingga terciptanya tata kelola yang baik di suatu negara.
Ketiga, negara berkewajiban mendirikan program mengatasi masalah kekeringan, seperti industri air bersih perpipaan secara merata. Sehingga terpenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat kapan pun dan di manapun. Status kepemilikannya ialah harta milik umum dan atau milik negara. Industri air dikelola pemerintah untuk kemaslahatan islam dan kaum muslimin. Status hukum industri dikembalikan pada apa yang dihasilkannya. Sehingga terjamin akses setiap orang terhadap air bersih gratis atau murah secara memadai.
Demikianlah sejumlah prinsip sahih untuk mengakhiri bencana kekeringan dan krisis air bersih jika sistem yang digunakan ialah sistem kehidupan Islam/Khilafah Islamiyah. Semua akan jadi mudah dan adil bagi tiap manusia. Perlu diingat, sebagai makhluk yang memiliki sang Pencipta, tidaklah mungkin ada sistem terbaik jika yang digunakan bukan sistem milik sang Pencipta. Wallahua’lam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar