Demokrasi Lahirkan Pejabat Nirempati


Oleh: Wity (Aktivis Muslimah Purwakarta)

Siapa yang tak mengenal sosok Umar bin Khaththab? Ia adalah Amiirul Mukminin yang sangat disegani. Tak hanya dikenal dengan ketegasannya, Beliau juga dikenal sebagai khalifah yang paling lembut hatinya.

Ketika umat muslim sedang dilanda kelaparan akibat kemarau panjang, Khalifah Umar bersumpah tak akan membiarkan perutnya kenyang, hingga rakyatnya tak lagi merasa lapar. Sepanjang musibah itu, Umar hanya memakan roti kering dan minyak. Ia lebih mengutamakan rakyatnya dibanding dirinya.

Sungguh, amat berbeda dengan kondisi saat ini. Para pejabat dan penguasa tak peduli dengan penderitaan rakyat. Di tengah jeritan rakyat menolak kenaikan harga, anggota DPR justru bersuka cita menyanyikan lagu ulang tahun, merayakan hari jadi sang Ketua DPR Puan Maharani. Meski sempat dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), laporan tersebut tak dilanjutkan. MKD menilai bahwa Puan Maharani tidak melanggar kode etik. (tempo.co, 13/03/2022) 

Inilah paradoks di negeri demokrasi. Tatkala rakyat rela berpanas-panasan melakukan demonstrasi demi menyampaikan aspirasi, para wakil rakyat justru asyik merayakan ulang tahun ketuanya. Tanpa satupun yang sudi keluar menemui rakyat dan mendengar keluhannya. 

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun amat jauh dari kata empati. Berbagai tarif kebutuhan dasar rakyat terus dinaikkan, seperti tarif dasar listrik dan air, pajak sembako, hingga pulsa. Subsidi dan tunjangan PNS dianggap beban negara. Sementara mereka seenaknya membuat anggaran untuk hal-hal yang tak urgent dengan nominal yang tak masuk akal. Masih ingat berapa anggaran gorden dan kalender?


Buah Demokrasi Kapitalisme

Hilangnya empati dari para penguasa tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh sistem yang diterapkan saat ini. Yakni, Demokrasi kapitalisme. 

Dalam demokrasi kapitalisme, hubungan penguasa dan rakyat sebatas hubungan bisnis, layaknya penjual dan pembeli. Penguasa adalah pihak penjual yang menjual berbagai fasilitas dan kebutuhan rakyat, sementara rakyat adalah pembeli yang kerap kali dipaksa untuk membeli berbagai kebutuhannya. 

Layaknya penjual, penguasa akan terus mencari keuntungan dari pembelinya. Karena itu, subsidi pun dianggap beban bagi negara. 

Demokrasi kapitalisme juga merupakan politik transaksional. Kedaulatan di tangan rakyat sesungguhnya hanya omong kosong. Hakikatnya, ada pada pemilik modal. Tawar menawar kebijakan dan jabatan antara penguasa dan pengusaha menjadi hal lumrah dalam demokrasi. Jika demikian, mungkinkah akan lahir kebijakan yang memihak pada rakyat? 

Sejatinya, sistem demokrasi telah cacat sejak lahir. Karena berasaskan sekulerisme, maka tak pernah melibatkan Allah SWT dalam setiap aturannya. Padahal Allah SWT adalah al-Khalik al-Mudabbir (Sang Pencipta dan Sang Pengatur). Yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Alhasil, sistem ini tak akan bisa menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. 

Lantas, kapankah akan lahir pemimpin yang amanah dan memiliki empati yang tinggi seperti Umar bin Khaththab? 


Islam Lahirkan Pemimpin Amanah dan Berempati

Telah nyata, sistem demokrasi kapitalisme hanya melahirkan pemimpin nirempati. Mereka tak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat. Karena sejak awal, tujuan mereka berkuasa bukan untuk rakyat, melainkan demi kepentingan pribadi dan partainya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang berlandaskan pada akidah Islam ini, mendorong manusia, termasuk penguasa, untuk beramal sesuai hukum syara. 

Penguasa dalam sistem Islam menyadari, bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Karena itu penguasa dalam Islam akan berusaha menjalankan tugasnya sesuai ketentuan syara. 

Dalam Islam, penguasa berkewajiban mengurus urusan rakyat dengan baik, yakni dengan menjalankan hukum-hukum syariah, serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. 

Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat bagaikan pelayan dan tuan. Negara adalah pelayan yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat dengan baik. Ketika negara mampu memenuhi hak-hak rakyat dengan baik, rakyat pun akan mencintai pemimpinnya dan mendoakannya. Inilah sebaik-baik hubungan penguasa dan rakyatnya yang hanya ada dalam sistem Islam. 

"Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian." (HR. Muslim) 

Sungguh, hanya sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin berhati lembut, yang mencintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya. Sudah saatnya umat menyadari hal ini. Segera menanggalkan demokrasi kapitalisme yang menjadi biang kerok hilangnya nurani dan empati para pejabat, kemudian menggantinya dengan sistem Islam kaffah.[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar