Harga Telur Kian Naik, Bukti Gagal Sistem Kapitalistik


Oleh : Wina Apriani

Belakangan masyarakat dibuat tidak habis pikir dengan berbagai kenaikan bahan pokok, salah satunya  telur, yang mayoritas digemari oleh masyarakat. Harganya semakin naik di pasaran, tentu berdampak pula kenaikan di warung-warung kecil. Bahkan ada yang sampai dua kali lipat. Kalau sudah begini, mengapa pemerintah tidak bisa mengambil solusi yang sistemik untuk menekan harga. Padahal hampir sebagian besar konsumen masyarakat negeri ini mengosumsi telur untuk makanan sehari-harinya. 

Seperti yang diberitakan oleh halaman kompas.com pedagang memilih telur ayam di pasar Lama Kota Serang, Banten, Senin (22/8/2022). Menurut pedagang, sejak awal pekan lalu harga telur ayam naik dari Rp27 ribu menjadi Rp 32 ribu per kilogram akibat melonjaknya permintaan. Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) AAlvino Antonio menyebutkan bahwa kenaikan harga telur ayam saat ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. "Iya benar, ini paling tinggi (harga telur) dalam sejarah. Tembus Rp 30.000 an di pasar," kata Alvino dikutip dari kompas.com. Selasa (23/8/2022).

Walaupun Menteri perdagangan Zulkifli Hasan membantahnya, tetapi realitasnya bahwa harga telur meroket tidak terbantahkan. Padahal, tingginya telur ayam saat ini sangat berdampak terhadap pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan masyarakat pada umumnya. Selama ini, telur merupakan satu dari sembilan bahan pokok (sembako) yang jika mengalami kenaikan harga, secara umum akan mengakibatkan multiplier effect terhadap sisi konsumsi pada dunia industri, terutama UMKM.

Apa yang disampaikan diatas seharusnya pemerintah bisa mengambil solusi yang signifikan untuk menyelesaikan persoalan kenaikan harga telur, mulai dari pasokan produktivitas telur yang terjadi di lapangan, di sini pemerintah harus terjun langsung, tidak membiarkan begitu saja. Dan pemerintahpun seharusnya bisa menjaga keseimbangan harga maupun produk dengan para pengusaha ayam petelur.

Untuk menyelesaikan persoalan ini tentu harus ada solusi sistemik yang menjaga stabilitas harga pangan pokok. Problem harga telur yang seharusnya mampu dilihat dari berbagai sisi, menjadi sulit terselesaikan sebab pemangku pemerintah dan pengusaha di sistem Kapitalisme saat ini saling lempar kebijakan saling membatasi dan melempar tanggung jawab. Saling lempar pendapat juga para menteri, ihwal penyebab naiknya harga telur sejatinya memperlihatkan pada rakyat masih adanya ego sektoral yang kental antar kementerian. 

Selain itu pula seharusnya seluruh pejabat memiliki visi yang sama, yaitu menyelesaikan permasalahan umat. Visi ini dapat melahirkan kebijakan untuk menyelesaikan persoalan karena berasal dari pembacaan akar persoalan yang tepat. Setiap kementerian akan bahu-membahu mencari penyebab harga telur naik, lalu menyelesaikannya tapi nyatanya di sistem Kapitalisme para pejabat maupun Mentri hanya bisa diam atas berbagai kenaikan, salah satunya kenaikan telur ini.

Selain itu salah satu alasan kenaikan harga telur yaitu Perusahaan integrator itu merupakan perusahaan peternakan unggas besar terintegrasi. Mereka menguasai mulai dari produksi, pakan, daily old chick (DOC), sapronak, budi daya ayam, budi daya telur, sampai produk olahan. Wajar saja harga bisa dikendalikan dan peternak unggas kecil dirugikan. Seperti yang dikeluhkan para peternak ayam terkait harga pakan yang tinggi. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap harga telur. Pasalnya, peternak ayam layer (petelur) lebih banyak membutuhkan pakan dari pada peternak ayam pedaging (potong). Walhasil, kenaikan harga pakan sangat berdampak pada peternak layer.

Sementara itu bahan baku utama pakan ternak yaitu jagung, sebagian besarnya diimpor. Tentu harganya bisa dikendalikan importir. Belum lagi fakta bahwa hampir seluruh produksi jagung tanah air dikuasai oleh perusahaan integrator. Jadilah harga pakan sangat tinggi. Sudahlah harga pakan tinggi, peternak pun harus membeli DOC dan sapronak yang mahal sebab semuanya dikuasai perusahaan besar. Ongkos produksi pun mahal. Inilah yang menyebabkan harga telur naik.

Akhirnya telur tadi melonjak tinggi harganya karena bahan pokok berprotein tinggi nan murah itu kini harganya selangit. Apalagi UMKM yang berbahan baku telur, sangat terpukul, bahkan banyak di antara mereka yang terpaksa berhenti produksi. Bagaimana peternaknya? Jangankan diuntungkan, mengambil sedikit saja keuntungan sudah bagus sebab penguasaan industri unggas dari hulu ke hilir dikuasai pemilik modal.

Ditambah kita hidup di sistem Kapitalisme saat inilah yang melanggengkan Oligopoli. Sebenarnya, sudah banyak yang mengeluhkan adanya praktik monopoli dan oligopoli di industri unggas ini. Asosiasi Peternak Ayam Rakyat Indonesia (Aspasi) sendiri sudah melaporkan dugaan praktik monopoli dan oligopoli yang dilakukan perusahaan terintegrasi dalam usaha budi daya ayam kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harga pangan tidak stabil karena dikendalikan korporasi. Namun demikian, praktik oligopoli dan monopoli masih saja langgeng meski laporan sudah sampai pada pemangku kebijakan. 

Lantas mengapa perusahaan tersebut masih tetap eksis bahkan penguasaannya makin bertambah dan meluas? Semua ini akibat tata kelola yang amburadul, yakni sistem ekonomi kapitalis menjadi platform perekonomian negara. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator yang menghubungkan kepentingan swasta dan kebutuhan rakyat. Dengan demikian mahalnya harga telur dan semrawutnya perniagaan unggas tanah air sejatinya lahir dari sistem ekonomi kapitalisme tadi yang menjadi pijakan dalam tata kelolanya. Hingga kapan pun, praktik oligopoli bahkan monopoli yang membuat pasar menjadi tidak seimbang akan terus hadir, bahkan keberadaannya dilindungi oleh penguasa.

Berbeda sekali pengelolaan pangan dalam Islam. Stabilitas harga pangan sangat penting demi terpenuhinya kebutuhan umat akan makanan sehat, terlebih pangan pokok seperti telur yang mengandung protein tinggi dan menjadi bahan baku banyak olahan makanan. Terkait hal itu, Islam memiliki beberapa aturan.

Pertama, peran negara harus hadir sepenuhnya dalam pengaturan pangan sebab hal ini merupakan kebutuhan dasar rakyat. Dari mulai produksi, distribusi, hingga impor, semua dikelola negara. Negara harus menjaga keseimbangan suplai dan demand (penawaran dan permintaan). Contohnya, ketika jagung sebagai pakan utama ternak kurang, negara harus menjaganya dengan produksi masif agar lepas dari ketergantungan impor.

Kedua, rantai usaha pertanian pangan ini boleh dilakukan individu/swasta, tetapi negara harus memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan melarang atau menghilangkan semua distorsi pasar, seperti penimbunan, permainan harga oleh pedagang besar untuk merusak pasar; juga pelaksanaan fungsi kadi hisbah yang secara aktif dan efektif memonitor transaksi di pasar. Dengan ini, penimbunan atau pemusnahan ayam agar harga jual tinggi bisa cepat ditindak.

Dengan sistem Islamlah satu-satunya solusi sistematik yang akan menyesuaikan semua permasalahan yang ada, salah satunya lonjakan harga telur ini.Tentunya hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj Kenabian. Inilah yang harus secepat mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum muslim.

Wallahu 'alam bi ash shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar