Indonesia, Mari Bumbatatipik (Buka Mata Buka Telinga, Hati, dan Pikiran)


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Indonesia boleh berbangga karena telah berhasil mempertahankan kemerdekaan hingga 77 tahun kini. Namun apakah kegemilangan para pahlawan yang dengan gagah berani mengusir penjajah dari negeri kita tercinta cukup dengan sorak sorai saat perayaan kemudian kita kembali terpuruk dalam cengkeraman penjajah yang kali ini bukan menodongkan senjata senapan, meriam, dll melainkan menodongkan berbagai kesenangan dan kemudahan teknologi yang melenakan dan nyata-nyata berhasil merenggut pribadi bangsa.

Negeri gemah ripah lohjinawi hanya khayalan karena hanya dinikmati oleh segelintir orang bahkan dengan terang-terangan SDA kita diangkut tak bersisa ke negeri penjajah dengan mengatas namakan kerjasama. Begitupun dengan SDM kita yang tergantikan oleh pekerja asing sehingga rakyat Indonesia banyak yang menjadi pengangguran, kalaupun bekerja hanya sebagai pekerja tingkat bawah yang hanya kebagian remah-remah dari berlimpahnya keuntungan yang diperoleh majikan. 

Penguasa negeri seakan kehilangan empati. Semakin hari semakin gila kekuasaan. Bak singa di hutan yang kelaparan, bukannya menjaga hutan malah semakin buas memangsa warga hutan. Sama halnya dengan wakil rakyat yang malah mendzolimi yang diwakilinya. Janji tinggal janji. Berganti rezim tetap tak berarti. Entah sampai kapan ini akan terjadi. 

Dan kini, saat rakyat sedang kelimpungan mengatasi dampak domino kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat sibuk mematut diri mencari pasangan kontestasi. Juga memake up diri agar nampak layak kembali mendapat kepercayaan. Layaknya muda-mudi yang sedang mencari jodoh, begitulah mereka lakukan. Bahkan tidak malu menampakkan persaingan saling berebut calon pasangan presiden dan wakil presiden. 

Contoh yang kontras ke publik adalah safari politik yang dilakukan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Ahad, 4 September 2022, meski hal itu dinilai Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro, bisa mengancam ambisi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024. (tempo.co, 04/09/2022).

Ada lagi yang lebih nyeleneh, yaitu di tengah ramainya aksi demo menolak kenaikan harga BBM, suara nyanyian ‘Selamat Ulang Tahun’ justru menggema di ruang Rapat Paripurna DPR. Pasalnya, Ketua DPR Puan Maharani diketahui berulang tahun pada Selasa, 6 September 2022. Sorak sorai nyanyian lagu dan ucapan ulang tahun terjadi di penghujung rapat. Tarian bahagia tercipta di dalam gedung DPR, meredam tangisan jutaan rakyat di luar gedung. Maka pantas jika peristiwa ini mendapat banyak kecaman. (Pikiran Rakyat, 08/09/2022).

Dari dua peristiwa ini saja sepatutnya dapat membuat rakyat sadar bahwa kondisi demikian adalah watak asli sistem demokrasi yang hanya melahirkan sosok pengabdi kursi, bukan pelayan rakyat yang merasakan penderitaan mereka. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah pepesan kosong. Rakyat diperlukan hanya sekedar penyumbang suara ketika pencoblosan, selanjutnya dibuang bak daun pisang yang dilemparkan pengguna ketika hujan reda. Tak ingat lagi bahwa dia tidak kebasahan karena dilindungi olehnya. Dan hal ini akan terus berulang meski berganti rezim bila sistemnya tidak turut diganti. 

Sungguh kontras dengan penguasa dalam sistem Islam. Adalah Umar bin Abdul Aziz yang menjadi Khalifah pada masa Bani Umayyah. Beliau menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesenggukan. Dalam tangisnya, Umar bin abdul Aziz mengucapkan kalimat, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun,” sambil berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikit pun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Mendengar perkataan beliau, istrinya bergumam, “Wahai Suamiku, mengapa engkau menangis seperti itu?” Umar pun menjawab, “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi Khalifah untuk memimpin urusan umat Nabi Muhammad saw..”

Sang Khalifah berkata kepada istri dan anaknya, “Aku termenung dan terpaku memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat perhatian dari pemimpinnya. Aku juga memikirkan orang-orang sakit yang tidak mendapati obat yang memadai. Hal yang sama terpikir olehku tentang orang-orang yang tidak mampu membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, mereka yang mempunyai keluarga yang ramai dan hanya memiliki sedikit harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang menderita di pelosok negeri ini, dan lain sebagainya.”

Sang Khalifah melanjutkan kesedihannya, “Aku sadar dan memahami sepenuh hati bahwa Allah Taala pasti akan meminta pertanggungjawaban dariku sebab hal ini adalah amanah yang terpikul di pundakku. Namun, aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup memberikan bukti kepada Allah bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku? Atas dasar itulah, wahai istri dan anakku, sehingga aku menangis.” 

Khalifah Umar kemudian membaca QS Yunus: 15, “Sesungguhnya aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.”

Masyaallah, pemimpin seperti ini tentu dambaan siapa pun. Namun, sosok dan karakter pemimpin seperti ini tidak akan lahir dari sistem sekuler kapitalisme karena sistem ini justru menumbuhsuburkan praktik pemimpin korup. Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan sosok pemimpin amanah dan pengayom rakyatnya. 

Pemimpin dalam sistem Islam tidak akan menganggap rakyat sebagai beban negara, melainkan merupakan amanah yang wajib ditunaikan. Islam menempatkan kedudukan penguasa di hadapan rakyat ibarat penggembala. Ia harus mengurus hewan gembalaannya dengan sebaik-baiknya. Bahkan, Nabi Saw. Menegur penguasa yang bersikap kasar dan zalim kepada rakyatnya sebagaimana hadits riwayat muslim, “Sungguh sejelek-jelek penggembala adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya.”

Pemimpin dalam sistem Islam senantiasa terikat dengan hukum syara. Dia tidak mungkin berbuat zalim karena telah diperingatkan melalui sabda Rasulullah Saw., 
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seseorang diserahi tugas untuk mengurus urusan kaum Muslim, lalu ia mati, sementara ia mengkhianati dan menzalimi rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari).

Selain itu, penguasa dalam Islam wajib sekuat tenaga memenuhi kebutuhan rakyat dan haram menelantarkan mereka. Penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak mereka, telah diperingatkan oleh sabda Rasulullah Saw. Dalam riwayat Tirmidzi, “Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya.”

Dengan demikian, jika negara ini diatur dengan syariat Islam, sangat mungkin rakyat Indonesia menikmati harga BBM murah, bahkan gratis dengan kualitas baik di tengah karunia Allah SWT. Berupa kelimpahan sumber daya alam, khususnya energi. Namun untuk menjadikan hal itu kenyataan tidaklah mudah. Butuh perjuangan dan peran nyata dari kita semua agar sistem Islam dan kepemimpinan Islam ini terwujud.
Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar