Mantan Terpidana Koruptor Boleh Daftar Caleg, Kok Bisa?


Oleh : Maya Dhita E.P., S.T.

Ramai dalam perbincangan di jagat maya tentang calon anggota DPR tahun 2024 yang tidak memerlukan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat pendaftaran, hingga diperbolehkannya mantan terpidana mengikuti pencalonan. Berbagai komentar bernada sindiran hingga hujatan memenuhi kolom komentar dari akun-akun yang membahas topik tersebut. 

Dalam keterangannya pada Kompas (9/9/2022), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik menegaskan bahwa seluruh bakal calon legislatif wajib menyertakan SKCK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) dan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Pasal 8 ayat (1) menetapkan bahwa bakal caleg DPR maupun DPRD wajib membawa bukti kelengkapan administratif berupa SKCK. 

Sedangkan untuk mantan terpidana dilindungi haknya dalam Pasal 45A PKPU Nomor 31 Tahun 2018 sebagai perubahan dari PKPU Nomor 20 Tahun 2018: (1) Bakal calon yang merupakan mantan narapidana korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dinyatakan memenuhi syarat, dan KPU, KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota memasukkan ke dalam DCT. Jadi eks koruptor ini tetap bisa mendapatkan SKCK dengan keterangan "terpidana" ada di dalamnya. (www.kompas.com, 9/9/2022).

Namun, yang menjadi permasalahan sebenarnya bukan ada tidaknya SKCK sebagai persyaratan administratif caleg, melainkan diperbolehkannya mantan terpidana khususnya eks koruptor ikut dalam ajang pemilihan wakil rakyat. Ini adalah masalah besar yang diremehkan. 

Maka tidak berlebihan jika dianalogikan seperti seorang pembantu yang dipercaya tetapi dia malah mencuri harta majikannya. Setelah menyelesaikan hukuman, majikan itu mempekerjakan pembantu itu lagi dengan posisi yang sama. Apakah hal itu masuk akal? Dan lebih parahnya, perilaku ini ada payung hukumnya. 

Sistem kapitalis telah membentuk karakter penguasa yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Setiap kebijakan dan aturan yang dibuat pasti berdasarkan hawa nafsu dan sarat kepentingan. Mereka hanya melihat manfaat dan keuntungan apa yang bisa didapat dengan cepat dan melalaikan dampak jangka panjang bagi rakyat. Niscaya terbentuklah kebijakan, aturan, dan perundangan yang bahkan secara nyata terlihat kebatilannya. 

Sistem semacam ini sudah pasti bersifat destruktif. Setiap solusi atas suatu masalah hanya akan menimbulkan masalah baru. Sehingga tidak mampu menjamin rasa aman apalagi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. 

Namun keadaan ini tidak akan berubah saat rakyat tidak menganggapnya sebagai suatu ancaman. Saat kerusakan yang diakibatkan oleh sistem yang ada hanya diterima dan dimaklumi saja.

Marilah kita lihat sebuah sistem yang aturannya berasal dari sang Pemilik kehidupan. Sistem Islam yang telah teruji mampu mewujudkan kesejahteraan seluruh umat. Kegemilangan peradaban hadir saat sistem Islam tegak. Pemimpinnya dipilih melalui pemilu yang dalam sistem Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Segala kebijakan yang dibuat terikat hukum syarak. 

Maka dalam sistem Islam tidak akan mungkin seorang mantan terpidana akan menjabat dalam pemerintahan. Apalagi seorang eks koruptor yang jelas telah merugikan rakyat. 

Sudah saatnya umat bangkit dan menyadari bahwa keadaan kita saat ini tidak sedang baik-baik saja. Sudah cukup jelas bahwa sistem yang ada hanya menimbulkan kerusakan. Beralih ke sistem Islam merupakan keharusan demi terciptanya kesejahteraan umat dan meraih keberkahan Allah Swt.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar