Marak Penelantaran Anak di Kota Layak Anak


Oleh : Lia Ummu Thoriq (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Masih ingat kasus remaja yang melarikan diri dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta kelaparan? (Kompas.com sabtu, 23/07/2022). Kasus tersebut menjadi perhatian luas masyarakat. Namun anehnya, kota Bekasi justru meraih kembali penghargaan Kota Layak Anak predikat Nindya di tahun 2022 ini. Penghargaan ini pun patut kembali dipertanyakan di tengah maraknya kasus penelantaran anak di Bekasi. Data yang dihimpun KPAD Kota Bekasi kasus penelantaran anak sepanjang tahun 2018-222 ebanyak 25 kasus. Rincinya, tahun 2018 sebanyak 7 kasus, 2019 sebanyak 4 kasus, 2020 sebanyak 4 kasus, 2021 sebanyak 10 kasus, dan 2022 sebanyak 0 kasus. 

Komisioner Bidang Kesehatan dan Napza KPAD Kota Bekasi Hadyan Rahmat menjelaskan, bahwa faktor utama terjadinya kasus penelantaran anak, banyak terjadi karena ketidaksiapan orang tua dalam memiliki anak. Sedangkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Komisi IV Kota Bekasi Heri Purnomo mengatakan penelantaran anak bisa terjadi karena faktor ekononi dan kesiapan orang tua dalam memiliki anak.

Standar layak anak kota yang juga disemati titel duta industri ini pun masih jauh dari gambaran lingkungan yang ramah terhadap anak. Sebab standar dari sebuah mendapatkan perdikat layak anak masih bertumpu pada kota yang dapat mengimplementasikan Undang Undang (UU) tentang perlindungan anak serta konvensi hak anak yang sudah diratifikasi. Hal ini pernah disampaikan oleh Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Agustina Erni. Pernyataan Agustina itu ditulis dalam artikel berjudul Belum Ada Satu pun Kota Layak Anak di Indonesia di laman www.mediaindonesia.com. 

Sungguh miris, di tengah uforia penghargaan Kota Layak Anak, di Kota Bekasi ternyata masih ditenukan permasalahan anak-anak. Mulai dari kekerasan hingga penelantaran. Penyebabnya bisa jadi tidak hanya satu, tapi semuanya saling mengait. Jika kita telisik maka kasus kekerasan anak disebabkan oleh:

1. Pengetahuan pengasuh dan mendidik anak juga masih minim dimiliki orang tua. 
Tidak dipungkiri menjadi orang tua butuh ilmu dan pengetahuan. Ketika seseorang mau memasuki jenjang pernikahan dia harus siap menjadi orang tua. Sebelum menikah seharusnya seseorang mempersiapkan ilmu dalam mendidik anak. Jika tidak maka pendidikan anak akan mengalir begitu saja.

Kurangnya ilmu dan pengetahuan orang tua dalam mendidik anak salah satunya terjadi kekerasan terhadap anak. Anak menjadi pelampiasan emosi orang tua. Lebih miris lagi tidak hanya kekerasan verbal, namun juga kekerasan fisik. 


2. Komunikasi tidak efektif antara orang tua dan anak.
komunikasi tidak efektif antara anak dan orang tua. Komunikasi adalah salah satu cara untuk menyampaikan gagasan kita kepada seseorang. Hal ini juga dilakukan antara orang tua dengan anak. Komunikasi yang tidak baik bisa mengantarkan pada kasus kekerasan pada anak. Banyak orang tua yang menginginkan atau memaksakan kehendaknya kepada anaknya dengan cara yang tidak baik, bahkan dengan menggunakan kekerasan. Contoh kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah cubitan atau pukulan. Hal ini adalah bentuk komunikasi yang dipaksakan orang tua kepada anaknya. Orang tua menginginkan sesuatu tetapi anaknya tidak mau menurut. 

Begitu juga sebaliknya, kadang anak merengek minta sesuatu. Hal ini membuat orang tua bingung menghentikan tangisan sang anak. Kadang orang tua mengambil jalan pintas dengan cara kekerasan misalnya dengan cara mencubitnya. 

Hal ini seperti yang dilakukan oleh orang tua R (orang tua yang mengikat tangan dan kaki anaknya). Dilansir dari detik news.com orang tua R beralibi mengikat R dengan alasan R suka mengambil atau menghabiskan makanan orang tuanya. Dengan alasan apapun hal ini tindak kekerasan anak ini tidak dibenarkan. Jika hal ini dikomunikasikan dengan baik maka tidak akan terjadi tindak kekerasan. 

3. Fisik dan mental anak yg lemah
Fisik anak yang masih belum sempurna dan masih lemah menjadikan anak sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Fisik anak yang masih lemah membuat orang dewasa rela melakukan kekerasan terhadapnya. Mereka tak mampu melakukan perlawanan terhadap orang yang melakukan kekerasan. Fisik mereka tak sekuat orang dewasa. Hal inilah yang menjadi faktor anak-anak menjadi korban kekerasan.

Selain fisik, mental juga menjadi faktor anak-anak korban kekerasan orang dewasa. Perkembangan mental yang belum sempurna menjadikan anak mudah menjadi korban kekerasan orang dewasa, termasuk orang tuanya sendiri.

4. Kesulitan ekonomi membuat orang tua berjibaku dalam mencari nafkah.
Tak dipungkiri hari ini negara kita sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selama dua tahun lamanya pandemi corona menerjang negara kita. Hal ini berpengaruh pada laju perkembangan ekonomi kita. Ekonomi menjadi ledu, PHK besar-besaran, karyawan dirumahkan, para pedagang gulung tikar. Ditambah lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hal ini tambah memperparah ambruknya ekonomi di negara kita. 

Ambruk nya ekonomi juga membuat kesulitan ekonomi membuat orang tua berjibaku dalam mencari nafkah. Pada orang tua khusunya suami sebagai kepala rumah tangga, berjibaku mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga. Tak dipungkiri keterpurukan ekonomi ini memicu kekerasan pada anak. Orang tua yang tertekan hidupnya krn masalah ekonomi membuat emosi memuncak dan gelap mata. Akhirnya melampiaskan emosinya dengan melakukan kekerasan pada anak-anaknya.

Hal ini sebagaima dilakukan oleh seorang ibu di Brebes Jawa Tengah. Dia tega menghabisi darah dagingnya sendiri. Dilansir PortalJember.com dari Instagram @selebgramkaltim, terungkap motif ibu muda yang juga berprofesi sebagai MUA ini karena ingin disayang suami dan juga karena himpitan ekonomi. "Saya nggak gila pak, saya pengen disayang sama suami tapi suami saya sering nganggur saya nggak sanggup kalau kontraknya habis," ungkapnya.

5. Negara berlepas tangan terhadap masalah kekerasan anak. Kekerasan anak terus berulang, angakanya merangkak naik. Namun negara minim solusi, dan sanksi yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera. 

Ditambah lagi abainya negara dalam menjamin kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak dari sisi basic needs nya (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan).

Semrawutnya permasalahan anak bermuara bermuara pada satu hal yaitu kuatnya hegemoni sistem kapitalisme yang diadopsi negara ini. Penyelesaian masalah dengan gaya tambal sulam yang menjadi ciri khas negara kapitalis sekuler hanya akan melahirkan permasalahan-permaslahan baru. Maka patut lah untuk kembali dipertanyakan kelayakan predikat Kota Layak Anak di tengah karut marut permasalahan anak di Kota Bekasi. 

Anak adalah anugerah yang kehadirannya menjadi amanah bagi kedua orang tuanya. Kesiapan fisik, mental dan ilmu parenting  bagi calon orang tua mutlak diperlukan. Negara bisa saja mengadakan pendidikan persiapan membina keluarga yang teknis pelaksanaannya diatur oleh Khalifah atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakannya. Yang pasti pembinaan untuk persiapan menjadi pasangan suami istri dan orang tua tak cukup melalui konsultasi atau penataran pra nikah yang diselenggarakan hanya dua hari menjelang pernikahan ala sistem kapitalis.

Selain itu negara memberi jaminan kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Dalam masalah nafkah suami berkewajiban untuk bekerja mencukupi kebutuhan pokok dirinya, sanak kerabatnya yang tidak mampu, serta anak istrinya. Allah berfirman: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya" (QS. Al Baqoroh: 233).

Bagi orang yang tidak mampu bekerja, Islam telah menetapkan nafkah mereka dijamin oleh sanak kerabatnya. Jika sanak kerabatnya juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara. Negara Islam dengan baitul maalnya akan menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. 

Selain kebutuhan pokok dalam negara Islam, pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak juga dijamin oleh negara. Pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Keduanya merupakan pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara adalah pihak yang berkewajiban mewujudkannya untuk seluruh rakyatnya. Pengadaan dan jaminan terhadap kedua kebutuhan mendasar ini akan ditanggung sepenuhnya oleh negara, baik orang miskin maupun kaya, muslim maupun non muslim. Baitul maal akan menanggung pembiayaannya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar