Renungan Anak Negeri Menyikapi Usia Indonesia Merdeka, Berharap Kematangan dan Kemandirian di Tengah Gempuran Kapitalis


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Bulan Agustus akan segera berlalu. Sorak-sorai kegembiraan perayaan HUT RI masih kental terasa. Bahkan di sebagian daerah ada yang merayakannya sampai berhari-hari dengan menampilkan berbagai hiburan siang dan malam. Meski ada kegetiran karena jumlah pengunjung hiburan lebih banyak dibanding pengunjung masjid, apalagi di waktu shalat shubuh. 

Di kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang sampai terjadi kemacetan saat pagelaran wayang golek Jum’at malam (26/08/2022). Perjalanan dari pasar Wado ke alun-alun yang kalau hari-hari biasa bisa ditempuh hanya 5 menit, malam itu harus ditempuh 1 jam. Wajar, karena yang hadir bukan haya orang Wado. Bahkan Kang Dedi Mulyadi sang politikus sekaligus selegram @dedimulyadi71, dan beberapa camat pun turut hadir. Kang Dedi sempat bagi-bagi uang kepada pengunjung yang diwawancarainya. Kemeriahan acaranya pun dapat dengan mudah ditonton ulang di youtube.

Kegembiraan ini memang beralasan, setelah hampir tiga tahun tidak dirayakan karena terhalang pandemi. Baru tahun ini HUT RI boleh dirayakan melalui berbagai kegiatan, mulai dari arak-arakan pawai pembangunan, pementasan kesenian tradisional, tabligh akbar, dan berbagai perlombaan. 

Sangat disayangkan banyak perlombaan yang berakhir tragis karena terjadi kecelakaan. Seperti yang viral di medsos, ada anak yang tangannya terkilir saat mengikuti lomba panjat pinang karena dipakai pijakan anak yang badannya lebih besar, ada juga anak yang jatuh terjungkal karena tidak bisa menahan keseimbangan ketika mengikuti lomba balapan karung dengan kepala dipakaikan helm ukuran dewasa. Belum lagi omelan emak-emak yang mendapati baju anaknya bak lap di tukang bengkel, udah kotor dengan tanah plus oli. Padahal hadiah yang didapat tidaklah seberapa. Namanya juga memeriahkan, jadi fun-fun saja. 

Itu hanya insiden kecil, di tiktok viral ada orang yang tersambar petir saat mencapai puncak panjat pinang. Dan yang tidak kalah miris adalah kejadian yang menimpa Rini (29), Ibu rumah tangga asal Kota Tasikmalaya yang baru dua bulan melahirkan seorang anak. Kapolsek Mangkubumi Iptu Hartono menjelaskan korban terjatuh saat perlombaan balap karung bersama warga hingga pingsan. 

“Korban jatuh dan kepala serta wajahnya membentur jalan aspal hingga pingsan dan tidak sadarkan diri selanjutnya warga setempat memberikan pertolongan dan langsung dilarikannya ke Klinik Kayla, tapi nyawanya tidak tertolong setelah sampai di klinik,” ujar Hartono, Rabu malam (17/08/2022) dikutip dari Kompas.com.

Bagaimana nasib bayinya? Jadi ragu, apa ini yang disebut merdeka? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata merdeka adalah: bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Bila kasusnya seperti di atas, apakah sudah mencerminkan kemerdekaan? Itu baru arti kemerdekaan secara bahasa, lalu apa sebenarnya makna kemerdekaan itu? Kemerdekaan seperti apa yang didapat apabila diisi dan dirayakan seperti itu? 

Apakah merdeka itu jika kebutuhan dan kesenangan pribadi tercukupi, tak peduli meski hanya sesaat asal bisa sorak-soray mengikuti hawa nafsu? Meski akhirnya harus mengalami kecelakaan bahkan sampai kehilangan nyawa? Tak peduli walau hanya makan kerupuk, sementara emasnya diboyong ke luar negeri. Tak peduli bersusah-payah meraih hadiah picisan yang digantung di tiang pinang berlumur oli, sementara SDA terus dikeruk dengan santai oleh pengusaha dalam dan luar negeri. Tak peduli meski hanya kebagian remah-remah karena bagian besarnya diambil bangsa asing. Ah itu sih makna kemerdekaan bagi yang berpikiran dangkal. 

Ataukah merdeka itu mutlak bebas secara fisik dari injakan bangsa penjajah. Buktinya sekarang para penjajah memberi fasilitas pendidikan, lowongan kerja seperti taktik politik etis alias balas budi milik Belanda, tetap saja itu namanya penjajahan. Ada juga penjajah yang sekarang memberi investasi, utang luar negeri, konsultasi, pakta perjanjian ekonomi, pasar bebas, dll. Mereka sebut itu adalah konsekuensi hubungan internasional dan persahabatan agar tidak dikucilkan di pergaulan tingkat dunia. 

Ah itu juga makna kemerdekaan bagi yang berpikiran lebih mendalam, sedikit hehe.. Karena dalam kenyataannya banyak bentuk hubungan yang disebut “kerja sama” atau “bantuan” padahal itu adalah jerat penjajahan baru. Banyak pula pemimpin negara dan pejabatnya yang berperan sebagai sales perusahaan transnasional atau multinational corporation (MNC). Ada juga yang beropini dan menyebarkan opininya bahwa utang itu hal biasa, meski bunganya berlipat-lipat, bahkan tak segan malah berbangga koar-koar akan menambah utang baru.

Karena berpikir mendalamnya hanya sedikit, maka tak mengapa mengakui keberadaan kaum L687, memberi usulan legalisasi ganja, mengizinkan seks bebas asalkan consent/ tanpa paksaan. Merdeka juga diartikan harus lepas dari “tekanan” dan “paksaan” ajaran agama. Tidak boleh ada yang memaksakan ataupun sekadar menyarankan berjilbab pada siswi di sekolah. Itu namanya penjajahan dan intoleran. Tidak sadar padahal sebenarnya masih berada di alam penjajahan, tetapi secara subjektif tetap yakin bahwa diri mereka adalah manusia merdeka.

Melihat realitas ini, tidak aneh, meski sudah 77 tahun merdeka, kondisi negeri justru makin terpuruk. Semua terjadi karena salah memahami makna kemerdekaan sebagai kebebasan. Lepas dari aturan agama. Bahkan, bebas mendiskreditkan ajaran agama dan menempatkan agama sebagai musuh bersama. Ujungnya justru penderitaan rakyat lahir batin.

Mahabenar Allah yang telah mengingatkan manusia akan kebinasaan mereka saat mereka memperturutkan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari agama,

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur’an), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.” (QS Al-Mu’minun [23]: 71).

Sebenarnya tidak ada namanya kemerdekaan apabila masih ada penghambaan pada sesama makhluk, apalagi sambil dieksploitasi dan dijadikan babu di negeri sendiri. Juga bukan merdeka namanya jika manusia masih diperbudak oleh hawa nafsu, meski itu jadi konstitusi. Tidak ada penghambaan kecuali pada Allah. Tak ada ketundukkan dan sujud kecuali pada Pemilik alam semesta. Juga tidak ada aturan yang layak ditaati kecuali hukum-hukum-Nya. Ini baru pemikiran yang cemerlang. 

Bersyukur atas kemerdekaan tentu bukan dengan sekadar memuji kebesaran Allah SWT. Secara lisan, tetapi dengan menggunakan nikmat kemerdekaan ini untuk mewujudkan ketaatan pada perintah dan larangan-Nya. Sebagaimana Islam datang justru untuk memberikan kemerdekaan sejati kepada manusia. Islam datang di tengah penderitaan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku. Islam lalu memerdekakan manusia dari semua itu.

Prinsip itu tecermin dalam dua hal. Pertama, Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt. Kedua, Islam membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. Keselamatan dan kebahagiaan seorang muslim adalah ketika ia bisa menundukkan hawa nafsunya pada aturan Allah Swt. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat cukup (qonaah) terhadap karunia Allah Swt.. Kekayaan bukan diukur dari keberlimpahan materi, tetapi dari kayanya hati.

Sejatinya, kemerdekaan hakiki adalah saat kita terlepas dari belenggu kekufuran. Individunya berperilaku benar sesuai keyakinannya, yaitu ajaran agama Islam. Masyarakatnya berpola pikir dan memiliki gaya hidup yang terlepas dari kungkungan budaya selain Islam. Negaranya terbebas dari penjajahan, baik fisik, politik, ekonomi, dan budaya. Juga menerapkan aturan Allah SWT. Secara kaffah dalam setiap kebijakannya. Marilah kita raih kemerdekaan hakiki dengan mengukuhkan ketaatan kepada Allah dan melaksanakan semua hukum-hukum-Nya agar kita menjadi orang merdeka yang sebenar-benarnya. 
Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar