Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi)
Berbagai pemberitaan terkait dengan aksi pejabat atau wakil rakyat yang tersandung tindak pidana korupsi begitu banyak. Rasa malu tak mereka miliki lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka diberikan keringanan hukuman, yang sebetulnya tak pantas diterima. Tentu saja, hal ini menjadi sorotan di mata publik.
Baru-baru ini, 23 narapidana koruptor mendapat pembebasan bersyarat. Karena remisi, masa tahanan mereka menjadi lebih pendek. Remisi ini diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Aturan remisi ini tertuang dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. (detiknews.com, 07 September 2022)
Hal ini pun mendapat kritikan dari KPK atas pembebasan bersyarat yang diberikan kepada napi koruptor. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyebutkan, ada wacana untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat.
Menurut Zaenur Rohman selaku peneliti Pusat Kajian Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada mengatakan, terkait pencabutan hak-hak yang diberikan pemerintah salah satunya hak remisi dan PB, tertuang dalam pasal 18 UU Tipikor. (BeritaSatu.com, 11 September 2022)
Dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat ini, membuat para mantan napi kasus korupsi bebas berlenggang di dunia perpolitikan. Sebab Undang-Undang Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk menjadi calon legislatif. Miris bukan? Padahal kita ketahui, korupsi sejatinya merupakan kejahatan luar biasa. Seharusnya hak politik mereka pun dicabut, sebab berapa banyak kerugian negara atas perbuatan mereka. Sangat disesalkan jika mereka bisa kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Terlebih lagi Indonesia telah menggaungkan perang melawan korupsi, dan berbagai poster bertuliskan penolakan antigratifikasi begitu mudah ditemukan. Sayangnya, perang melawan korupsi berbuah kebuntuan. Justru yang terjadi korupsi semakin tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan.
Sehingga muncul menjadi pertanyaan besar, apakah pemberantasan korupsi ini serius untuk dilakukan? Atau hanya sekadar menunjukkan eksistensi penguasa saja? Sebab sekian banyak alat pemberantasan korupsi, yang ada semakin banyak praktik korupsi terjadi.
Keberadaan pemerintah memang selayaknya mengelola negeri. Sebagai pihak yang berwenang seharusnya mau membuka diri agar negeri ini terbebas dari kubangan korupsi yang memuakkan.
Jabatan yang diemban adalah kepercayaan rakyat yang ada di pundak. Sehingga ia bukan semata untuk mencari keuntungan, melainkan amanah besar yang harus dipertanggung jawabkan. Bukan hanya di dunia, kelak akan datang masa di mana semua amanah akan dituntut di hadapan Allah Yang Maha Adil. Belum tibakah masanya para pemangku kekuasaan menyadari diri?
Semuanya ini terjadi tak lepas dari sistem hidup yang rusak. Sistem hidup Sekuler telah menjauhkan manusia dari kesadarannya, bahwa seluruh aktivitasnya berada di bawah pengawasan Allah Swt. Dalam sistem ini, manusia merasa bisa berbuat sekehendak diri dan menjadikan kesenangan duniawi sebagai standar kebahagiaan hidup. Padahal, semua ini hanyalah tipu daya sementara.
Namun disayangkan, banyak masyarakat menempatkan kemewahan sebagai prestise. Hal inilah yang memengaruhi gaya hidup kebanyakan pejabat saat ini. Pada akhirnya, tuntutan ini yang menjadikan mereka melanggar aturan dan melakukan tindakan tidak terpuji bernama korupsi.
Inilah buah diterapkannya sistem Kapitalisme Sekulerisme, menjadikan para pejabat tak takut berbuat dosa. Kemaksiatan dianggap biasa, jalan haram pun ditempuh demi memuaskan diri dan keluarga. Ditambah tidak diterapkannya hukuman yang membuat efek jera. Saat ini yang ada justru keringanan hukuman, sehingga sangat wajar korupsi menjamur dan sulit diberantas.
Berbeda dengan Kapitalisme Sekuler, dalam sistem Islam kesadaran akan pentingnya rida Sang Khalik adalah perkara utama. Hal ini yang membuat para pejabat dalam sistem Islam bisa menjaga sikap warak (menjauhkan diri dari perbuatan dosa) dan menjadikannya sebagai tameng dari segala harta haram. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (TQS Al-Anfal: 27)
Kesadaran adanya pengawasan Allah dalam setiap aktivitas, membuat para pejabat begitu berhati-hati menjalankan amanah. Jabatan bukanlah ladang untuk meraup keuntungan, sebaliknya ia adalah amanah tempat menuai pahala. Sebab merealisasikan amanah bukan perkara yang mudah, inilah wujud keimanan hingga jabatan dapat berbuah surga.
Tentu saja, bukan hal mustahil manusia terjebak dalam godaan setan untuk korupsi. Untuk itu, Islam memberikan sejumlah sanksi yang memberi efek jera. Sesuai hasil ijtihad khalifah, bagi pejabat korup akan diberi sanksi berupa publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Sesuai dengan pertimbangan harta yang dikorupsi.
Dalam melakukan penyelidikan, khalifah akan menghitung harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan harta, negara akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui penambahan harta, apakah bersifat syar’i atau tidak. Dengan demikian, seluruh elemen negara berperan aktif dalam upaya mencegah korupsi.
Demikianlah ketegasan khalifah sebagai pemimpin. Tindakan korupsi yang merugikan tidak dibenarkan, dan akan dihukum dengan memberi efek jera bagi pelakunya. Sehingga para pejabat dalam sistem Islam akan terjaga dan menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh. Sedangkan sistem Kapitalisme Sekuler, sejatinya menjadi akar masalah tumbuh suburnya korupsi. Sistem ini telah menjauhkan suasana keimanan dalam menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat.
Oleh karenanya, untuk memberantas kejahatan korupsi yang sudah menggurita, dibutuhkan sistem yang mampu memberantas hingga ke akar-akarnya. Yakni sistem Islam, dengan seperangkat aturan kehidupan yang sempurna dan paripurna, akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam. Sehingga tindak koruspi yang dilakukan para oknum pejabat, tidak akan pernah ada. Sebab, ada sanksi berat yang akan diberikan. Ditambah suasana keimanan yang terkondisikan, menjadikan mereka sadar bahwa jabatan bukanlah alat kesenangan, melainkan amanah yang berat.
Wallahua’lam bish shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar