Oleh : Siami Rohmah (Pegiat Literasi)
Dikebut, setelah membentuk Badan Usaha Milik Otorita, pemerintah berupaya segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan insentif untuk investor dan pelaku usaha potensial di Ibu Kota Negara. Pemerintah melakukan penyusunan RPP terkait insentif ini bertujuan agar para investor tertarik berinvestasi di IKN. Insentif akan berupa fiskal dan nonfiskal. Hal ini diungkapkan Bambang Susantono, selaku ketua Badan Otorita IKN.
Seolah berlagak buta tuli, pemerintah tak menerima masukan terkait rencana proyek IKN. Banyak pihak menyarankan agar ide IKN ini ditunda, atau tidak dilanjutkan. Bukan tanpa alasan, banyak pihak mengusulkan untuk tidak melanjutkan proyek ini. Ibarat orang sudah punya rumah, mau membangun rumah baru, namun tidak punya dana, tapi tetap ngotot dengan melakukan berbagai cara untuk bisa membangun rumah. Tentu menjadi sesuatu yang aneh dan bukan ide yang cerdas.
Kondisi Indonesia kurang lebih juga seperti itu. Setelah jatuh bangun menghadapi pandemi. Rakyat begitu menderita menghadapi tekanan disegala sisi. Pengangguran bertambah, BBM mahal, yang berimbas pada mahalnya komoditas kebutuhan. Belum lagi bencana dimana-mana.Hutang yang kian menggunung. Semakin dekat negeri ini pada kondisi krisis. Begitu kompleks masalah yang dihadapi bumi pertiwi. Semua ini seharusnya menjadi fokus kerja bagi pemegang kebijakan, bukan yang lain, termasuk ide IKN.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, kenapa begitu ngotot membangun ibu kota baru jika pembiayaannya tidak mandiri? Tidak ada kebaikan untuk rakyat dari proyek ini. Justru rakyat terbebani. Dan pada akhirnya pembiayaan akan dilelang kepada swasta. Kembali para pemilik kapital yang akan menentukan arah. Ya, dalam sistem kapitalisme sekuler, negara hanya menjadi alat penguasaan pemilik modal, baik individu, swasta maupun asing. Maka tidak heran segala cara dilakukan, dibuat berbagai aturan agar penentu arah ini bisa melenggang, termasuk di proyek IKN.
Berbeda dengan Islam. Dalam Islam negara akan menerapkan prioritas pembiayaan. Fokus pada hal-hal yang penting, seperti ekonomi dan kesehatan. Sementara setiap pembangunan fisik oleh negara, adalah demi kemashlahatan rakyat. Misal jalan, jembatan, sekolah. Semua itu dibangun untuk memudahkan urusan rakyat. Untuk pembiayaannya pemerintah mengambil dari harta milik umum, misal dari hasil tambang, minyak, gas. Selain itu negara juga bisa mengambil dharibah (pajak) jika kondisi keuangan negara benar-benar kosong. Negara tidak mengambil hutang dengan riba baik dari swasta ataupun asing. Karena hutang akan menjadikan negara dibawah bayang-bayang dan dikte pemberi pinjaman.
Pemimpin layaknya penggembala, dia akan bertanggungjawab atas gembalaannya. Dia akan menjaga gembalaan itu, memenuhi kebutuhannnya. Pemimpin akan melayani yang dipimpinnya, memprioritaskan kepentingannya. Bukan kepentingan swasta apalagi asing. Semoga kita bisa nemiliki pemimpin layaknya Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang lapar, Aamiin yaa Rabb.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar