Oleh : Leni Setiani (Aktivis Muslimah Karawang)
Gelap, begitulah ungkapan kepala negara Indonesia menggambarkan dunia yang terancam di terpa resesi. Begitu juga dengan ungkapan Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun satu suara mengatakan ekonomi Indonesia tahun depan gelap.
Diperkuat dengan laporan IMF bahwa kondisi ekonomi tahun 2023 akan lebih suram. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya mencapai 2,9 persen. Penyebabnya, tiga negara motor penggerak ekonomi global -Cina, AS dan Uni Eropa- mengalami tekanan yang cukup berat. Namun, di tengah problem tersebut anehnya Indonesia justru meningkatkan dana bantuan untuk parpol yang seharusnya fokus mempersiapkan jika resesi terjadi.
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan kenaikan bantuan dana partai politik (parpol) tiga kali lipat. Jumlahnya naik dari Rp 1.000 per suara menjadi Rp 3.000 per suara.
Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay namun melihat kenaikan dana bantuan parpol di saat krisis seperti saat ini dirasa kurang tepat. Alasannya di tengah kondisi krisis keuangan dan kenaikan BBM, ia melihat seharusnya pemerintah memprioritaskan terlebih dahulu bagi kebutuhan yang langsung dirasakan rakyat. Karena itu kenaikan bantuan parpol, apalagi sampai tiga kali lipat, dirasa kurang pantas (republika.co.id 22/09/22).
Resesi merupakan bagian integral dalam ekonomi kapitalisme. Dalam berbagai textbook Pengantar Ilmu Ekonomi, kondisi ekonomi suatu negara akan mengikuti suatu pola yang disebut siklus ekonomi. Siklus ini dimulai dari ekspansi ekonomi, lalu mencapai puncaknya, lalu menurun atau mengalami resesi hingga mencapai palung, lalu kembali berekspansi lagi, dan seterusnya.
Kebijakan Bank Sentral yang menaikkan suku bunga yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab resesi. Ada pula resesi yang disebabkan oleh peristiwa eksternal, yang disebut sebagai goncangan (schock) sehingga menghentikan laju pertumbuhan ekonomi contohnya resesi akibat pandemi COVID-19.
Hal ini jelas menunjukkan abainya negara atas nasib rakyat yang terancam hidup sulit, namun peduli pada parpol yang akan jadi kendaraan politik meraih kursi.
Paradoks ini menunjukkan secara nyata bobroknya sistem kapitalis demokrasi yang lebih mementingan penguasa dan jajarannya termasuk parpol. Sehingga setiap kebijakan yang dibuat hanya akan menguntungkan mereka bukan rakyat kecil.
Dari kapitalisme lahirlah sekulerisme yang menyebabkan seseorang hidupnya bebas sebebas bebasnya, dengan tujuan ingin meraih keuntungan sebesar besarnya menjadikan manusia yang ada di sistem ini serakah, tidak lagi milat halal haram, semua akan ditabrak selagi menguntungkan.
Sehingga sudah saatnya manusia kembali pada aturan yang akan menjaga fitrahnya, dengan menerapkan aturan yang bersumber dari sang pencipta alam semesta yaitu Allah SWT. Sebab Islam akan menjaga manusia dari sifat serakah dan liar.
Peraturan Islam lahir dari aqidah yang akan membuat seseorang senantiasa terikat pada halal haram, bukan untung rugi. Begitupun aturan Islam yang diterapkan dalam bingkai negara akan menjaga seluruh manusia yang ada dilamnya, sebab setiap kebijakan dan aturan yang dibuat semata mata atas perintah Allah SWT bukan atas kepentingan sendiri.
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-maidah ayat 50 yang artinya : "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Wallahu'alam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar