Buah Kapitalisme, "Gaya Elit, Ekonomi Sulit"


Oleh: Vivi Nurwida (Aktivis Dakwah)

Fenomena gaya hidup mewah kini tengah menjangkiti banyak kalangan, dari orang ternama hingga orang biasa, terjadi di kota juga desa. Gaya hidup ini adalah upaya untuk menampilkan "keakuan", di tengah-tengah masyarakat, bahwa dirinya bisa lebih dari orang lain. Banyak diantara mereka bahkan rela berutang demi gengsi dan reputasi.

Dilansir dari liputan6.com, sebuah survei terbaru dari Credit Karma menemukan hampir 40 persen milenial menghabiskan uang yang tidak dimilikinya dan terlilit utang demi gaya hidup dan hubungan sosial.

Rata-rata pengeluaran tersebut dihabiskan demi sebuah pengalaman seperti berlibur, pesta, kehidupan malam, hingga pernikahan. Bahkan milenial rela berutang demi makanan, pakaian, alat elektronik, perhiasan dan mobil. Sekitar 36 persen responden dalam survei tersebut mengaku mungkin hanya dapat bertahan setahun lagi tanpa utang dengan gaya hidup yang sekarang. 

Salah satu  dari banyaknya berita yang terjadi di dalam negeri,  ASN Guru di Kota Banjar berinisial Y terancam diberhentikan lantaran mangkir kerja dengan alasan terlilit hutang. Iya memiliki gaya hidup yang tinggi. Sehingga ketika dirinya tidak memiliki uang, dipastikan akan merasa kurang dan hutang sana-sini. (fokusjabar.id, 14/01/2022)


Buah Kapitalisme

Pada era penerapan ideologi kapitalisme, aktivitas belanja tidak lagi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Tidak sedikit orang melakukan aktivitas belanja untuk tuntutan gaya hidup, membeli yang mereka inginkan, bukan yang mereka butuhkan. Inilah gaya hidup konsumtif yang banyak muncul pada saat ini.

Terlebih, di era digital saat ini, aktivitas belanja begitu mudah. Transaksi di ujung jari bisa dilakukan. Kemudahan-kemudahan aktifitas belanja online ini membuat orang lebih bersemangat untuk berbelanja, terlebih pilihan pembayaran juga beragam, dari transfer bank, COD hingga paylater.

Standar kebahagiaan dalam kapitalisme adalah memperoleh keuntungan atau manfaat sebanyak-banyaknya. Dengan konsep ini para kapital mengeksploitasi dorongan "keakuan" yang menghinggapi masyarakat.   Mereka menampilkan iklan semenarik mungkin dengan menampilkan artis ternama ibu kota, bahkan mancanegara, guna membius hati para konsumen yang konsumtif ini. Kebutuhan semu akan barang disulap menjadi sesuatu yang wajib dimiliki.

Para kapital ini mempengaruhi pemikiran masyarakat dengan menciptakan standar bahwa bahagia adalah ketika semua keinginan dapat dipenuhi, membuat banyak orang ingin bisa seperti dirinya. Wajah glowing, kulit putih, badan langsing dengan fesyen terbaru dengan harga selangit, tas branded, mobil terbaru, dan sebagainya adalah puncak kebahagiaan. Dengan begitu mereka tidak peduli walaupun harus merogoh kocek dalam, bahkan rela berutang demi memenuhinya. 
Gaya hidup artis ibu kota  hingga mancanegara juga ditampilkan di layar kaca hingga  media sosial. Kehidupan glamour, hedonis sengaja ditampilkan dalam  acara-acara televisi guna merangsang masyarakat ingin hidup "enak" seperti mereka. Pola berulang yang ditampilkan akhirnya mengubah kebutuhan akan barang yang tidak seharusnya menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi, bagaimanapun caranya. Berlibur, menghilangkan penat,rumah mewah, pernikahan super megaj yang ditampilkan di layar kaca membuat masyarakat menginginkannya. 

Gaya hidup konsumtif ini juga mempengaruhi individu mengonsumsi barang yang jauh dari kebutuhan hidup, bahkan melebihi nalar. Untuk minum kopi ternama mereka berani membayar mahal. Bahkan, tas merek ternama dengan harga yang bikin geleng-geleng kepala, mulai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Dengan harga yang tidak seharusnya untuk membeli sebuah tas, mereka membelinya dengan tujuan hanya untuk kepuasan batin. Tas, kini tidak hanya dilihat sebagai fungsinya namun lebih kepada merk yang tertera. Sebuah tas kini bahkan bisa menunjukkan status sosial pemakainya. 

Demi gengsi, gaya hidup dan reputasi,  ekonomi yang sulit diterjang, masyarakat menjadi pecandu barang-barang mewah. Tekanan dari masyarakat sekitar juga bisa membuat seseorang malu jika tidak bisa memiliki barang mewah atau brand ternama.Kemudahan untuk berutang dengan pinjol maupun cicilan digunakan. Inilah gaya hidup yang dilahirkan dari sistem kapitalisme, gaya elit, ekonomi sulit.


Waspadai Jebakan Kapitalisme

Gaya elit, ekonomi sulit dengan pola konsumtif ini adalah salah satu buah busuk Kapitalisme guna memalingkan seorang muslim dari sikap yang seharusnya dimiliki orang yang beriman. Seorang Muslim semestinya senantiasa mengaitkan setiap aktivitasnya dengan standar Islam, bahwa perbuatannya harus  senantiasa terikat dengan hukum syara'  termasuk dalam hal pembelajaran harta.

Standar kebahagiaan bagi seorang Muslim seharusnya bukanlah materi, melainkan ridho Allah. Ia semestinya senantiasa menyibukkan diri untuk meraih kebahagiaan ini, menunaikan kewajiban dan memperbanyak juga aktifitas sunah. Dalam hal membelanjakan harta ia akan  memenuhi kewajiban nafkah, membayar hutang, menunaikan zakat ditambah aktifitas sunah seperti mengeluarkan infak, saling memberi hadiah, juga membantu kesulitan orang lain.

Ia  juga tidak menjadi orang yang berlebihan, dan tidak pula menjadi orang yang kikir dalam membelanjakan hartanya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah, Q.S Al Furqon ayat 67:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
Artinya:
"Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar."

Selain itu, ia akan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan ikut terlibat dalam perjuangan penegakan Islam secara kaffah, yang akan menghindarkan masyarakat dari menghamburkan harta yang sia-sia menuju keberkahan yang diridhoi Allah SWT.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar