Freeport : Keuntungan Negara vs Kesejahteraan Rakyat


Oleh : Yuliyanti Silvana Dewi

Chairman of the Board and CEO Freeport McMoRan, Richard C. Adkerson, pada saat memberikan orasi di Institut Sepuluh Nopember (4/10/2022) menyampaikan bahwa PT. Freeport Indonesia akan menambah investasinya di Indonesia mencapai USD 18,6 miliar atau setara Rp 282,32 triliun hingga 2041 nanti. Menurutnya, hal ini akan lebih memberikan manfaat langsung yang diterima oleh kas negara. Pada periode 1992 sampai 2021 keuntungan mencapai 23,1 miliar. Ia yakin manfaat untuk negara akan semakin bertambah sejalan berkembangnua PT.Freeport Indonesia (kumparanBISNIS, 6/10/2022).

Kebijakan Freeport memberikan angin segar bagi pemerintah. Ini dilakukan supaya perusahaan tetap bisa menambang keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan alam Indonesia. PT.Freeport ada di Indonesia sejak tahun 1967. Bermula dari penandatanganan kontrak karya selama 30 tahun sampai akhirnya terus diperpanjang hingga tahun 2041.

Dikutip dari CNBC, Indonesia resmi menguasai 51,2% saham PT.Freeport Indonesia pada tahun 2018 lalu. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya dokumen pelunasam transaksi senilai US 3,8 miliar atau sekitar Rp 55,8 triliun. Sebelumnya, RI hanya memiliki 9,36% saham di PT. Freeport Indonesia ini.

Menelaah hal di atas, kita tidak ada bedanya dengan dijajah di negeri sendiri. Sumber daya alam milik negeri bukankah selayaknya diurus oleh anak negeri? Hal ini menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengelola kekayaan alam Indonesia.
Benarkah Freeport menguntungkan negara? Sesuai Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada tahun 2017, kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan ini mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembuangan limbah tambang yang tidak tepat, yaitu membuang limbah ke area hulu sumhai Ajkwa sejak 1995.

Bukan hanya itu, apakah semua rakyat sudah merasakan keuntungan dari Freeport? Dengan keuntungan yang didapat, seharusnya rakyat Papua secara merata menjadi masyarakat yang sejahtera. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Papua pada Maret 2022 mencapai 922,12 ribu orang atau setara dengan 26,56% dari keseluruhan penduduk Papua. Persentase kemiskinan di Papua menjadi yang tertinggi diantara provinsi lainnya. Sungguh miris!

Begitulah yang terjadi jika sistem kapitalis yang mengelola sumber daya alam. Pemerintah mengatasnamakan rakyat untuk kebijakannya, padahal rakyat hanya menjadi tumbal. 

Berbeda dengan Islam, semua perkara akan dikembalikan sesuai hukum syara. Rasulullah bersabda “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api: dan harganya adalah haram”. Manusia berserikat bukan berdasarkan zatnya, tetapi karena posisi air, padang rumput, dan api sebagai sesuatu yang dibutuhkan orang banyak atau menjadi fasilitas umum. Dari sini sudah jelas, perkara yang seharusnya menjadi fasilitas umum tidak boleh dimiliki secara perseorang ataupun asing. 

Dalam Islam negara akan mengelola sumber daya alam dan dikembalikan lagi untuk kebutuhan rakyat. Sudah saatnya kini kita kembali pada aturan Islam yang terbukti mampu menyelesaikan semua persoalan hidup dan mampu menyejahterakan rakyat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar