KAPITALISME MENGHILANGKAN FUNGSI QAWWAMAH


Oleh : Anindya Vierdiana

Di lansir dari berita Liputan 6- kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) acap kali menjadi momok yang menakutkan bagi para korban kdrt. Terbaru, terjadi di kelurahan jatijajar kecamatan tapos kota depok jawa barat. Di mana seorang suami (RNA) 31 tahun dengan tega membacok istrinya (NI) 31 tahun hingga kritis serta anak kandungnya (KCP) yang masih berusia 11 tahun hingga tewas dengan menggunakan parang. Motif pelaku adalah karena masalah ekonomi yang membuat pelaku merasa tidak di hargai dan tidak di hiraukan oleh para korban sehingga pelaku naik pitam yang mengakibatkan penganiayaan itu terjadi.

Ini adalah sebagian fakta kasus dari ribuan kasus kdrt hingga oktober 2022. Menurut data dari KemenPPA sudah ada 18.261 kasus kdrt di seluruh indonesia. Sebanyak 79,5% atau 16,745 korbannya adalah perempuan.

Faktor pencetus terjadinya KDRT kebanyakan adalah karena faktor ekonomi, terlebih di masa pandemi dan akibat naiknya harga kebutuhan keluarga serta BBM mengakibatkan para suami kesulitan mencari nafkah, kemudian mudahnya terpicu emosi hingga tidak dapat mengendalikan diri dan berujung pada kekerasan, bahkan tidak sedikit rumah tangga yang hancur dan berujung pada perceraian. Selain itu, perselingkuhan.. yang salah satunya disebabkan oleh dampak dari penggunaan media sosial yang tidak tepat  sehingga turut memicu terjadinya tindak kekerasan


Kondisi perekonomian yang sulit ditambah kehidupan sosial yang serba bebas

Banyak di antara suami yang tidak bisa menjalankan perannya dengan baik, bahkan fungsi kepemimpinan (qawwamah) suami dalam rumah tangga terkikis hingga nyaris habis. Padahal fungsi kepemimpinan suami dalam rumah tangga sangatlah penting.


Fungsi Qawwamah Suami Dalam Rumah Tangga

Kebahagiaan dalam rumah tangga dan keutuhannya diawali ketika peran suami sebagai qawwam berjalan dengan baik dan sempurna. Berjalannya fungsi qawwam akan mengantarkan keluarga sakinah mawaddah warahmah mudah untuk diwujudkan.

Sebaliknya ketika fungsi suami sebagai qawwam diabaikan, maka akan menyebabkan keretakan yang berujung pada perceraian. Bahkan tak jarang istri dan anak menjadi korban kekerasan.

Kepemimpinan (qawwamah) suami atas istri adalah ketetapan Allah Subhanallahu wa Taala yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunah. Allah Swt. telah berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS An-Nisa: 34)

Makna kepemimpinan seorang laki-laki atas perempuan (qawwamah ar-rijal ala an-nisa) adalah al-infaq alayha wa al-qiyam bi ma tahtajuhu yaitu menafkahi istri dan memenuhi apa yang ia butuhkan. Atas dasar itu, makna kepemimpinan suami atas istri adalah mengatur urusan, memberikan nafkah, mendidik, membimbing istri dalam kebaikan, dan meluruskan penyimpangan yang ada pada mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, jus 1 hal. 653).

Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, suami harus memiliki sifat-sifat yang baik di antaranya ; saleh dan bertakwa. Kesalehan dan ketakwaan adalah ukuran pertama seorang pemimpin dikatakan baik. Suami yang bertakwa dan saleh akan mengurus istri dan anak-anaknya sebaik mungkin. Ia tidak akan menyakiti apalagi sampai membunuh istrinya, karena dia paham bahwa istri adalah amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt kelak. Suami yang bertakwa dan saleh akan senantiasa memperlakukan istri dan anak-anaknya sebaik mungkin, sebagaimana dicontohkan baginda Nabi Muhammad Saw.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku”.

Suami (qawwam) yang bertakwa dan saleh juga akan menjalankan perintah Allah Swt. dalam ayat berikut,


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS an-Nisaa: 19).


Sebagai qawwam, suami akan bersabar jika menjumpai sifat buruk pada istri dan anggota keluarga. Ia akan menasihati dan membimbing ke arah yang lebih baik dengan cara lembut dan penuh kasih sayang.

Pergaulan suami-istri adalah pergaulan penuh persahabatan dalam segala hal. Allah Taala dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar para suami bersahabat dengan baik kepada istrinya sehingga menenteramkan jiwa dan membahagiakan hidup. 

Kedua, sebagai pemimpin (qawwam), suami adalah penanggung jawab atas semua kebaikan dan keburukan dalam rumah tangganya. Suami bertanggung jawab membimbing dan memotivasi anggota keluarganya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Taala.


Rasulullah Saw. bersabda : ”Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya, seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka.”


Atas dasar inilah, seorang suami tidak akan membiarkan istri dan anak-anaknya melakukan pelanggaran syariat Islam

Demikianlah syariat Islam telah menjelaskan seorang suami adalah pemimpin (qawwam). Ia harus memiliki sifat atau karakter seorang pemimpin. Ia akan mempertanggungjawabkan atas apa yang dia pimpin yakni Istri dan anak-anaknya.


Hilangnya Fungsi Qawwamah

Banyaknya kasus penganiayaan suami atas anak dan istrinya menunjukkan kepemimpinan (qawwamah) suami telah terkikis nyaris hilang. Ada banyak faktor penyebabnya, beratnya beban hidup yang harus ditanggung suami. Sulitnya mencari maisyah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang kian hari kian tidak terjangkau lagi oleh kalangan bawah. Beban hidup yang jauh dari kata sejahtera menyebabkan hak istri dan anak tidak terpenuhi. Hal ini sering kali memicu pertengkaran dan tersulutnya emosi dan berujung pada tindak penganiayaan.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa KDRT bukan hanya dipicu oleh hilangnya peran qawwamah pada suami, tetapi juga dipicu oleh istri yang tidak menjalankan perannya dengan baik lantaran turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Istri harus turut berangkat pagi pulang petang atau kalaupun di rumah konsentrasinya bukan untuk mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya (ummun wa rabbatul bait) melainkan bagaimana mendapatkan tambahan pemasukan untuk menopang ekonomi keluarga dengan berbagai usaha 

Padahal, seorang istri sekaligus ibu seharusnya menjadi sandaran semua anggota keluarganya. Para suami yang lelah bekerja akan merasa nyaman saat bertemu istrinya. Begitu pun anak-anaknya, senantiasa mendapatkan kasih sayang yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan mereka. Namun fungsi ini pun telah terkikis bahkan nyaris hilang.

Ketaatan para istri kepada suami juga telah luntur dikarenakan merasa telah menjadi ‘tulang punggung' keluarga. Para istri yang tidak bekerja pun bukan berarti aman dari KDRT. Karena berbagai tuntutan yang begitu besar untuk kenyamanan hidup juga menyebabkan para suami stres hingga berujung KDRT.

Kondisi kehidupan rumah tangga yang jauh dari kata ideal ini bukan semata lahir dari individu suami yang telah kehilangan fungsi qawwamah nya dan individu istri yang tidak menjalankan fungsi utamanya, melainkan adalah problem besar yang bersifat sistemik.

Suami kesulitan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dengan gaji yang cukup ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah mengakibatkan kekayaan hanya berputar di antara orang kaya saja dan rakyat tidak mendapatkan apa pun kecuali hanya tetesan-tetesan sekadar membasahi tenggorokan untuk bertahan hidup.

Upaya mendorong para istri untuk bekerja dengan berbagai bentuk pemberdayaan ekonomi perempuan juga lahir dari feminisme, paham yang lahir dari sudut pandang sekularisme. Walhasil, suami dan istri tidak mengenal agama, akhirnya mengelola rumah tangga tanpa aturan agama, Yang membuat KDRT semakin meningkat

Oleh karena itu, tindak kekerasan suami atas istri bukan semata problem individu melainkan problem sistemik akibat penerapan sekularisme dan kapitalisme di negeri ini.


Islam Mengukuhkan Fungsi Qawwamah

Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna, tidak hanya aturan yang berkaitan dengan salat, puasa, zakat, haji, dan akhlak saja. Islam juga memiliki seperangkat syariat tentang pengelolaan sumber daya alam, perdagangan, industri, dan segala hal terkait pengelolaan perekonomian. Jika syariat ini diterapkan akan melahirkan kesejahteraan karena mudah bagi para suami untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang mencukupi kebutuhan. Di samping negara akan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan komunal seperti layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya sehingga rakyat tidak perlu membayar. Dengan jaminan ini para suami akan mudah menafkahi kebutuhan keluarga tanpa harus ditopang oleh istri dalam mencari nafkah. Istri bisa lebih fokus menjalankan perannya sebagai umm wa rabbatul bait.

Islam juga memiliki seperangkat syariat yang mengatur manusia dalam hubungan sosial kemasyarakatan sehingga suasana kehidupan yang terbangun adalah suasana islami yang penuh ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Dengan penerapan Syariat Islam akan meminimalisir terjadinya perselingkuhan yang menghancurkan rumah tangga.

Dengan penerapan Syariat Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan maka kehidupan akan berjalan dengan baik sebagaimana yang perintahkan oleh Allah Taala, keberkahan akan mudah dirasakan oleh semua umat manusia. Para suami pun akan mudah menjalankan fungsi kepemimpinannya (qawwamah) terhadap istri dan anak-anaknya sehingga rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah mudah diwujudkan. Keberkahan dan rahmat akan menyebar ke seantero negeri bahkan ke seluruh penjuru dunia. 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,…” (QS Al-Araf: 96)




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar