KDRT dalam Pusaran Sistem Sekuler


Oleh : Yunita Purwadi

Kekerasan suami terhadap istri dan ayah terhadap anaknya saat ini sering kita saksikan. Belum lama ini seorang suami membabi buta melakukan pembacokan terhadap istri dan anaknya. Aksi kejam ini terjadi di sebuah rumah di kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat. Pria tersebut menganiaya istrinya dan membunuh anak perempuannya menggunakan parang. KDRT yang berujung pembunuhan ini memang cukup memprihatinkan. Penganiayaan yang dilakukan suami terhadap istrinya cukup sadis. Menurut saksi, sang istri mengalami luka yang bagian jarinya ada yang terputus. (Liputan 6, 1/11/2022). Sepekan kemudian ada pula seorang suami yang memukuli istrinya berkali-kali di pinggir jalan. Hal ini pun terjadi di pangkalan jati, Cinere,  Depok, Jawa Barat. (Berita Satu, 6 /11/2022).

Kedua kasus  KDRT tersebut hanyalah segelintir kasus yang mencuat di permukaan. Berdasarkan data Kementerian PPPA, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan hingga Oktober 2022  tercatat 1.821 kasus KDRT di seluruh Indonesia. Sebanyak 79,5% atau 1.745 korban adalah perempuan. (MetrotvNewsroom, 4/10/2022).

Kekerasan yang dialami perempuan beragam jenisnya. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 mengungkapkan beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan berumur 15 tahun diantaranya yaitu kekerasan fisik, meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras, dan serangkaian tindakan fisik lainnnya. Bahkan tindakan yang lebih ekstrim pun yaitu membunuh kerap terjadi. Adapun kekerasan emosional atau psikologis, meliputi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan tidak pantas, mempermalukan di depan umum, menjelek-jelekkan, dan sebagainya. Bentuk kekerasan lainnya yaitu meliputi kekerasan seksual yang kasusnya  pun mengalami peningkatan akhir-akhir ini.


Faktor Pemicu  Kekerasan dalam Rumah Tangga 
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau ayah terhadap anaknya merupakan bentuk dari ketidakmampuan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam rumah tangganya. Beban ekonomi yang cukup berat saat ini dinilai sebagai pemicu utama. Kehidupan ekonomi kapitalis menyuguhkan berbagai ketidakadilan dan jauh dari kesejahteraan. Rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok dikarenakan harga-harga yang merangkak naik imbas kenaikan BBM. Gap (kesenjangan) yang terjadi antara orang-orang kaya yang bermodal besar dengan rakyat pun semakin melebar. Ditambah kondisi menjelang resesi banyak PHK massal terus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Akibatnya banyak pengangguran yang kehilangan pekerjaannya. Di sisi lain, dorongan gaya hidup hedonis saat ini menuntut untuk dipenuhi. Gaya hidup seperti ini tentu saja hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Orang yang sudah terjebak pada gaya hidup hedonis akan membelanjakan sesuatu bukan karena kebutuhan dan prioritas tapi lebih untuk memenuhi  keinginan semata. Padahal untuk tampil dengan handphone keluaran terbaru mereka rela untuk berhutang. Sering makan di restoran/café padahal uang pas-pasan. Terlebih lagi tampilan kehidupan hedon ini  kerap pula dimunculkan di berbagai media sosial. Pakaian yang selalu up to date, tas bermerk, produk kosmetik yang berseliweran menghipnotis kaum hawa untuk berbelanja. Lingkungan yang tidak sehat atau tidak peduli satu sama lain turut mengabaikan adanya tindakan kekerasan. 

Akar masalah lainnya yaitu dari internal individu itu sendiri. Hilangnya fungsi qawwam (kepemimpinan) dalam diri seorang laki-laki melahirkan sikap acuh dan lunturnya sifat kasih dan sayang. Terlebih laki-laki yang memiliki karakter temperamental, ia akan mudah tersulut emosi ketika muncul permasalahan dalam rumah tangganya. Ketidakpahaman terhadap tuntunan agama akan mudah untuk melahirkan tindakan kekerasan. Ia tidak memahami bahwa istri dan anak hanyalah amanah (titipan) dari Allah. Sejatinya amanah, seharusnya ia jaga dan lindungi.  


Mengakhiri Kekerasan dalam Rumah Tangga
Melihat adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga tentunya perlu diupayakan langkah dan cara untuk mengatasinya. Tentu saja upaya penyelesaian harus bersifat komprehensif. Artinya semua pihak berupaya dalam mencegah adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Penyelesaian ini tidaklah terbatas pada ranah individu semata. Namun lebih mengarah pada perbaikan sistem. Pada ranah individu, tentunya sifat qawwam  yang harus dibangun dalam diri seorang laki-laki yang sudah menikah. Qawwam yang berarti kepemimpinan sudah Allah letakkan pada diri seorang laki-laki.  Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, lantaran terhadap apa yang telah dilebihkan Allah sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan apa-apa yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-hartanya”.

Tafsir terhadap ayat tersebut bermakna bahwa kepemimpinan laki-laki merupakan penanggungjawab atas perempuan. Laki-laki memiliki kewajiban menafkahi. Selain itu, Ia pula yang bertanggung jawab atas perlindungan dan kenyamanan anggota keluarganya. Kepemimpinan ini bukan berarti bahwa laki-laki bisa semena-mena terhadap perempuan. Bukan juga bahwa perempuan dinomorduakan atas laki-laki. Ini semata-mata bentuk perintah Allah SWT. Laki-laki yang menjalankan sifat qawwam ini tentunya ia akan senantiasa menjadi penyelamat ataupun penjaga bagi anak istrinya ketika ada bahaya. Bukan ia yang justru membahayakan bagi anak dan istrinya. Selain membangun pribadi laki-laki yang bertanggungjawab semestinya lingkungan ataupun sistem yang mengelilinginya pun harus baik.

Sistem atau lingkungan yang didasari dengan penuh ketakwaan dan keimanan pada Allah SWT semata akan melahirkan situasi yang menentramkan. Mereka takut akan berbuat keburukan ataupun kekerasan. Sistem yang baik akan menjaga individu-individu berada dalam ketaaatan terhadap apa-apa yang sudah Allah SWT perintahkan. Mereka akan berupaya untuk senantiasa menjaga hukum-hukumNya. Mereka takut akan Rabbnya dan mereka yakin akan hari akhirat kelak. Sistem yang berdasarkan akidah Islam inilah yang mampu menyelesaikan berbagai kekerasan dalam bentuk apapun. Wallahu’alam.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar