MAHASISWA TERJERAT PINJOL : SI HITECH TAPI MINIM LITERASI


Oleh : Perawati,S.Kom

Dunia pendidikan tengah dirundung duka dengan fenomena ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) terjerat pinjaman online (pinjol). Mengutip dari BBC Indonesia, Mereka diminta investasi dengan keuntungan 10 persen per bulan dan meminjam modal dari pinjaman online. Namun dalam perjalanannya, keuntungan tidak sesuai dengan cicilan yang harus dibayarkan kepada pinjaman online hingga para mahasiswa mulai resah saat ditagih debt collector.

Peristiwa ini sejatinya mencoreng institusi pendidikan di Indonesia. Output pendidikan dipertanyakan, edukasi yang kurang atau kurang literasi terkait masalah ini? Padahal mereka-mereka ini adalah gen-z yang hitech dan melek teknologi. 

Yang membuat miris peristiwa ini terjadi pada mahasiswa di perguruan tinggi top dunia.  Berdasarkan rilis QS World University Rankings (WUR), bahwa IPB berhasil masuk Top 450 dunia. QS juga merilis dimana IPB menempati peringkat 41 dunia dalam bidang pertanian dan kehutanan.

Jika secara intelektual civitas IPB bisa mengantarkan IPB masuk kampus top dunia, artinya secara keilmuan mumpuni. Mestinya lebih mumpuni lagi dalam dunia pinjol dan investasi yang banyak tipu-tipunya. Apalagi mereka-mereka ini sebagai generasi z yaitu generasi Hitech, kreatif, out of the box, dan juga kekinian. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Harris Poll menunjukkan bahwa gen-z adalah generasi yang kreatif dan mereka adalah digital native. 

Dengan demikian seharusnya mereka lebih kreatif dalam mendapatkan income. Bukan malah terjebak dengan passive income dengan iming-iming investasi. Hal ini menggambarkan betapa para mahasiswa terjerat pragmatis akut sehingga tidak berpikir jernih dan kritis. Dan orientasi materi telah menjebak mahasiswa sehingga tidak berpikir logis dan kritis. 

Maka hitech atau melek teknologi saja tidak cukup. Hitech harus diiringi dengan memperkaya literasi. Sebagaimana disampaikan ekonom INDEF, banyaknya mahasiswa menjadi korban penipuan, mengindikasikan minimnya literasi keuangan digital. Selain minimnya literasi, keamanan digital juga lemah. Sehingga membuat 'lintah' digital makin gencar melakukan aksinya. 

Dalam sebuah studi terbaru dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi" menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi di Indonesia. Yaitu penipuan berkedok hadiah (91,2 persen), pinjaman online ilegal (74,8 persen), pengiriman tautan yang berisi malware/virus (65,2 persen) hingga penipuan berkedok krisis keluarga (59,8 persen).

Sudah jamak di masyarakat bahwa platform digital pinjol dan investasi sangat meresahkan. Mestinya bentuk penipuan ini dengan mudah dihentikan pihak terkait. Tapi, bak buah simalakama, masyarakat hanya bisa bersuara. Malah motif yang mereka lakukan semakin beragam dan massif.

Fenomena penipuan untuk investasi menjadi PR bagi institusi pendidikan. Memberikan edukasi pada mahasiswanya, agar terhindar dari hal serupa dikemudian hari. Tapi inilah buah sistem pendidikan kapitalistik di perguruan tinggi. Melahirkan mahasiswa yang berorientasi materi, sejalan dengan semangat entrepreneur university. 

Pola hubungan pendidikan menyesuaikan dengan proses industrialisasi. Pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan dagang atau politik. Budaya belajar bergeser menjadi budaya ekonomis, yaitu upaya mempersiapkan tenaga produktif untuk dijual dalam bursa kerja. Karakter pembelajar yang dibangun adalah sekularis, hedonis, materialis, individualis dan pragmatis.

Kenyataan global pendidikan saat ini sangat berbeda ketika sistem pendidikan Islam yang diterapkan oleh negara Khilafah dulu. Negara ini mengemban ideologi Islam dengan kedaulatan politik dan ekonomi yang berpengaruh global dalam rentang 14 abad lamanya. Yang melahirkan jiwa-jiwa kuat secara tsaqofah, kreatif, inovatif dan memiliki integritas yang tinggi pada keilmuannya. Dan negara sebagai garda terdepan dalam menghentikan segala bentuk penipuan. Wallahu'alam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar