Mencari Solusi KDRT


Oleh : Sabila Asy-syahidah, S.Pd.

Kasus pembacokan suami terhadap istri dan anak di Depok menambah daftar hitam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Menurut data dari KemenPPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut barulah kasus yang tercatat. Kasus KDRT diyakini sebagai fenomena gunung es di mana masih banyak kasus yang tidak tercatat. Seperti halnya salah satu video viral suami memukuli istri di jalanan baru-baru ini.

KDRT menjadi momok bagi keluarga. Korban KDRT akan mengalami trauma fisik maupun psikis. Konflik antara suami dan istri juga mengganggu tumbuh kembang anak. Terbukti generasi saat ini banyak yang menunda pernikahan bahkan takut menikah karena takut mengalami KDRT. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan terjadi lost generation di mana kita akan kehilangan generasi muda. Padahal generasi muda adalah generasi paling produktif yang dibutuhkan negeri.

Jika ditelaah, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan KDRT yaitu faktor pendidikan dan ekonomi.

Pertama, faktor pendidikan. Pendidikan yang dimaksud bukanlah seberapa tinggi jenjang pendidikan. Akan tetapi saat ini pendidikan di negeri kita masih berorientasi terhadap karir semata. Hampir tidak ada pendidikan tentang pernikahan dan keluarga di jenjang manapun. 

Pernikahan masih dibangun berdasarkan cinta semata, belum dibangun berdasarkan ilmu. Hal ini menyebabkan suami dan istri memiliki pemahaman yang salah dalam menjalani pernikahan. Calon suami tidak memahami makna qawwamah (kepemimpinan) dalam rumah tangga yang seharusnya bertanggung jawab dan mengayomi secara ma’ruf. Calon istri pun tidak memahami perannya untuk taat kepada suami dan melakukan komunikasi buruk kepada suami seperti meninggikan suara hingga mudah meminta cerai. Hubungan suami istri yang minim ilmu ini rentan konflik dan berujung pada KDRT.

Kedua, faktor ekonomi. Tak bisa dipungkiri, ekonomi banyak menjadi latar belakang KDRT. Suami sebagai pencari nafkah rentan mengalami tekanan akibat kesulitan ekonomi. Lapangan kerja yang terbatas, gaji tidak seimbang dengan harga kebutuhan yang cepat naik, hingga terbelit utang ribawi.

Faktor ekonomi ini tak lepas dari peran negara. Saat ini negara belum mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para suami. Malah perempuan lebih disasar untuk menjadi penggerak ekonomi. Langkah ini menjadi kontra produktif dan justru menambah tekanan bagi para suami dan menimbulkan konflik rumah tangga.

Negara pun malah memberlakukan kebijakan yang menghimpit ekonomi keluarga. Mengurangi subsidi BBM, harga pangan yang melambung, hingga penyelenggaran utang ribawi di perbankan. Tekanan-tekanan ekonomi ini mudah sekali memicu stres pada suami istri dan mengantarkan pada KDRT.

Kedua faktor penyebab KDRT ini dapat dijawab oleh Islam. Dalam Islam, pembentukan keluarga sangat diperhatikan. Dalam kitab fiqh, terdapat bab khusus tentang pernikahan. Fiqh ini diajarkan sedari pra baligh (sekitar usia 10 tahun). Dengan begitu, ketika memasuki usia dewasa dan mampu menikah, baik suami dan istri telah memiliki pemahaman benar tentang pernikahan.

Ekonomi keluarga pun tidak sepenuhnya dibebankan pada suami. Negara mendorong para suami untuk bekerja. Negara pun mendukung suami dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Rasulullah SAW mencontohkan dengan memberi kapak kepada sahabat yang miskin dan menyuruhnya untuk mencari kayu bakar. Selain itu, negara menopang ekonomi rakyatnya dengan memastikan setiap rakyatnya terpenuhi kebutuhan pokok. Sebagaimana Umar bin Khattab ra yang memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Juga Umar bin Abdul Aziz yang memastikan uang zakat telah terbagikan kepada 8 asnaf sampai-sampai tidak ada lagi yang berhak menerima zakat.

Demikian Islam telah menjawab polemik KDRT ini dengan berbagai solusi yang komprehensif. Allah SWT telah menyempurnakan Islam sebagai din bagi manusia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Telah terbukti pula penyelenggaraan hukum Islam langgeng selama 14 abad sejak era Rasulullah hingga 1924 dalam naungan kekhilafahan. Maka kita tidak perlu ragu lagi untuk mengambil Islam sebagai solusi kehidupan.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar