Menjaga Citra Demi KTT G20 dengan Membungkam Suara Publik


Oleh : Cindy Y.Muthmainnah (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali)

Pagelaran KTT G20 di Bali diwarnai dengan adanya penolakan dari kalangan mahasiswa. Namun yang disayangkan adalah tujuh mahasiswa yang melakukan aksi kemudian diamankan petugas Satpol PP (15/11). Para mahasiswa itu diketahui dari Universitas Udayana (Unud) Bali dan melakukan aksi damai di depan umum di Jalan Sudirman, Denpasar, Bali.

Kepala Satpol PP Provinsi Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi mengatakan, para mahasiswa itu melakukan aksi dengan membentangkan spanduk bertuliskan 'G20 Ngae Ribet Nak Bali, G20 Bukan Solusi' yang artinya G20 bikin ribet orang Bali dan juga ada bertuliskan 'Indonesia People's Assembly.'

Sebelum berlangsung puncak G20 pada 15-16 November 2022, seluruh kebijakan diluncurkan Pemprov Bali untuk menghindarkan masyarakat dari kerumunan. Imbauan dari desa adat agar masyarakat menahan aspirasi demi menjaga citra Bali juga terus dilakukan. Selepas kejadian demonstrasi tersebut, Gubernur Bali, I Wayan Koster mangatakan bahwa aksi tersebut bukan tindakan yang bijak dan beliau berharap jangan lagi ada demonstrasi apabila tidak ada kaitannya dengan Bali.

Seolah lupa dengan slogan yang digagas Demokrasi yaitu menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, yang terjadi justru sebaliknya, pembungkaman. Demokrasi memang tidak pernah konsisten mengenai kebebasan yang dijamin. Oleh karena itu demokrasi memang tidak layak dijadikan sebagai sistem untuk mengatur manusia. Standarnya cenderung berubah-ubah tergantung keinginan yang berkuasa dan tentu dalam hal ini korporasi juga mempengaruhi. 

Sangat berbeda dengan Islam. Islam memiliki prinsip yang tegas dan konsisten. Yang salah akan tetap salah dan yang benar akan tetap benar. Dalam hal muhasabah lil hukkam atau mengoreksi penguasa, islam memberikan ruang terbuka. Karena walau bagaimanapun sistem pemerintahan islam tetaplah dipimpin oleh seorang manusia yang bisa jadi salah dalam menerapkan peraturan, sehingga memang harus ada koreksi. 

Dalam hal ini menjadi tidak bijak membungkam aspirasi mahasiswa walau dengan alasan menjaga citra.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar