Stop Stigmatisasi Negatif Islam!


Oleh: Ummu Hanan (Analis Media dan Aktivis Dakwah)

Dalam beberapa waktu terakhir, isu teroris kembali berhembus di negeri ini. Mulai dari seorang perempuan berniqab yang menodongkan senjata kepada Paspampres di depan Istana Merdeka pada Senin, 25 Oktober 2022 lalu. Sampai tiga terduga teroris yang ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur pada Jumat, 28 Oktober lalu. (surabaya.kompas.com, 28/10/2022)

Hal ironis yang terus berulang dalam kasus terorisme yang terjadi adalah mengapa jaringan terorisme atau kekerasan dan ancaman selalu disematkan pada Islam? Lalu bagaimana sikap bangsa ini terhadap kekerasan yang terjadi di Papua misalnya? Mengapa agama Islam yang damai justru dianggap lebih menakutkan dibanding kelompok kriminal bersenjata di Papua misalnya? Sehingga Islam yang justru malah akrab disapa sebagai pihak radikal, fundamental dan teroris. Padahal banyak entitas lain yang nyata berbuat kerusakan di negeri ini namun mereka seolah kebal dengan label “teroris” dan kekerasan.

Semakin miris, saat dugaan terorisme terhadap Islam dan ide Khilafah, apparat justru pilih kasih karena tidak pernah benar-benar mengungkap kasus dengan terbuka dan sebenarnya. Sehingga cukup sulit bagi publik untuk memahami peristiwa sebenarnya.


Stop Alergi Terhadap Ajaran Islam

Sungguh berbahaya saat Islam dan ide Khilafah yang merupakan bagian dari Syariat Islam terus distigmatisasi negatif di mata publik. Indonesia yang mayoritas merupakan kaum muslimin bahkan kini menjadi alergi pada syariat agamanya sendiri.

Stigma negatif merupakan bagian dari ejekan atau cemoohan (al-istihzâ`), bahkan lebih dari itu. Al-Istihzâ` secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan.

Menista Islam dan ide Khilafah bisa dianggap sebagai penistaan agama. Adapun bentuk penisataannya, bisa dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam, hukum dan syariatnya; seperti menyifati Islam dan syariatnya sebagai biadab, brutal, bengis, terbelakang, dan lain-lain. Bisa dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok sebagian hukum Islam; seperti mengolok-olok jilbab, kerudung, dan kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong tangan, kisas, rajam, dan sebagainya. Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan mencemooh dan menstigma negatif sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan Khilafah, termasuk mengkriminalisasi para penyerunya.

Di dalam Al-Qur’an yang mulia, pelecehan terhadap Islam dan ajarannya hanya disematkan sebagai perilaku kaum kafir dan kaum munafik. Sehingga penistaan terhadap Islam, hukum dan ajarannya, juga kriminalisasi terhadap para penyerunya, tidak lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan.

Seluruh bentuk penistaan terhadap Islam, hukum, syariat dan ajaran Islam itu jelas merupakan dosa besar. Tidak layak seorang muslim melakukan semua itu. Jika ada seorang muslim melakukan bentuk-bentuk pelecehan Islam, hukum, syariat, dan ajaran Islam, maka hal itu bisa mengeluarkan dia dari Islam dan menyebabkan dirinya murtad, terutama jika disertai i’tiqâd atau keyakinan. Adapun jika tidak disertai i’tiqâd—karena perbuatan dan sikap itu merupakan dosa besar, cerminan kekufuran dan kemunafikan—maka pelakunya, meski tidak dinilai telah murtad, dinilai telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar. Naudzubillahi min dzalika.


Waktunya Umat Bersatu Bela Kemuliaan Islam

Di tengah terpaan ide liberalisme kapitalisme yang sarat dengan kepentingan, maka sebagai umat Islam tentu tidak boleh diam. Islam jelas mengajari umatnya untuk selalu melakukan amar makruf nahi mungkar dalam kondisi apapun. Termasuk dalam melawan berbagai bentuk kezaliman yang diarahkan kepada Islam, ajaran dan umatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam al-Quran misalnya pada QS Ali Imran ayat 104. 

Juga dalam banyak hadis Rasulullah Muhammad saw. Di antaranya sabda beliau:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Langkah berikutnya adalah menanamkan pemahaman Islam kafah kepada umat manusia, khususnya umat Islam. Menyadarkan bahwa Islam tidak hanya mengatur aspek ritual dan spiritual semata. Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia seperti sistem pemerintahan, ‘uqûbât (sanksi hukum), interaksi laki-laki dan perempuan, pendidikan, kesehatan dan aspek lainnya.

Dengan memahami kesempurnaan dan menyeluruhnya Islam, umat Islam tidak terjebak hanya mengamalkan sebagian ajaran Islam. Ia  akan mengamalkan ajaran-ajaran Islam di setiap aspek kehidupan. Termasuk menjadikan Islam sebagai panduan dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan Islam sebagai  landasan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan kemaslahatan bagi masyarakat.


Islam Kafah Jaga Kemuliaan Umat

Apabila kita ingin menghilangkan berbagai bentuk penghinaan, pelecehan dan pendiskreditan terhadap Islam, tidak ada cara yang lain selain kita harus mengganti sistem sekuler liberal yang ada saat ini dengan sistem yang terbaik yang datang dari Zat Yang Mahabaik, yaitu Islam. Dengan menerapkan syariat Islam secara kafah, akan ada kebaikan bagi seluruh umat manusia, baik kaum muslim maupun nonmuslim. Sebabnya, syariat Islam diturunkan untuk menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.

Syariat Islam adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan bagi seluruh alam semesta. Dengan penerapan syariat Islam secara kafah, tidak akan dibiarkan lagi berbagai bentuk serangan terhadap Islam yang dilakukan melalui konspirasi orang-orang kafir dan munafik. Khalifah akan mengambil tindakan tegas setiap ada upaya serangan terhadap Islam. Dengan begitu Islam, ajaran Islam dan umat Islam akan selalu terjaga muruah dan kewibawaannya. Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar